Ladang Minyak dan Gas di Riau Rawan Gangguan Keamanan
Kamis, 04 Desember 2003PEKANBARU (Riau Online): Situasi keamanan pada ladang minyak di lokasi offshore (lepas pantai) dan onshore (daratan) di Provinsi Riau dinilai rawan gangguan keamanan. Para nelayan asing tidak saja memasuki batas toleransi yang ditentukan setengah mil dari lokasi ladang minyak, tapi juga nekad memasuki ruang perkantoran. PEKANBARU (Riau Online): Situasi keamanan pada ladang minyak di lokasi offshore (lepas pantai) dan onshore (daratan) di Provinsi Riau dinilai rawan gangguan keamanan. Para nelayan asing tidak saja memasuki batas toleransi yang ditentukan setengah mil dari lokasi ladang minyak, tapi juga nekad memasuki ruang perkantoran.
Hal itu terungkap dalam rapat pengamanan bersama antara kontraktor kontrak kerjasama (K3S) Migas dan Polda Riau, kemarendi Hotel Aryaduta Pekanbaru. Dalam pertemuan itu, seluruh unsur K3S meminta perlindungan keamanan kepada jajaran Polda Riau.
“Kondisinya sudah mengkhawatirkan. Para nelayan asal Thailand tidak saja memasuki batas toleransi setengah mil dari wilayah eksplorasi tapi juga nekad memasuki ruang kantor (operation room). Ini khan sudah berbahaya,� kata Gunawan, perwakilan K3S untuk wilayah offshore.
Untuk meminta bantuan personil Polri, katanya, sulit dilakukan. Karena selain jaraknya cukup jauh, tapi juga jumlah personil yang siaga di Polsek tidak mencukupi. “ Setiap Polsek hanya ada sekitar lima personil. Untuk meminta bantuan kita membutuhkan waktu berjam-jam lamanya untuk mencapai lokasi offshore,� katanya.
Oleh sebab itu, pihaknya lebih banyak mendapat bantuan dari personil angkatan laut guna mengamankan lokasi eksplorasi dari gangguan bajak laut serta nelayan asing. Namun, seluruh perusahaan K3S tetap mengharapkan bantuan personil Polri yang bisa ditempatkan secara permanent di lokasi eksplorasi.
Senada dengan itu, perwakilan K3S dari unsure onshore, Rasfuldi menyebutkan gangguan keamanan pada ladang minyak di wilayah daratan yang paling menonjol adalah pencurian asset perusahaan. Selain itu, gangguan keamanan berupa aksi blokade terhadap lading minyak dapat membuat aktivitas terganggu.
PT Caltex Pasific Indonesia (CPI) mencatat lebih 500 persen peningkatan gangguan keamanan di ladang minyak onshore sejak reformasi bergulir. Pencurian asset perusahaan merupakan kasus paling menonjol.
“Amat disayangkan jika gangguan tersebut tidak bisa diatasi dengan cepat. Karena Riau memberikan kontribusi hampir separuh pamasukan Migas sebesar 25 persen terhadap APBN,� kata Rasfuldi.
Sedangkan Kepala Dinas Sekuriti Badan Pengelola (BP) Sektor Hulu Minyak dan Gas (Migas) Tjokro Suprihartono memprioritaskan pihak pengamaman local yang melakukan pengamanan di ladeang minyak offshore maupun onshore. “Meski banyak pihak pengamanan asing yang mengajukan penawaran untuk terlibat mengamankan ladang-ladang minyak di Indonesia,� katanya.
Menurut kaca matanya, keamanan di ladang minyak belum mengkhawatirkan seperti yang dilansir di media asing. “ Sehingga tidak enak didengar. Padahal situasinya masih kondusif, tapi mereka sudah sangat ketakutan,� ujarnya.
Ketakutan tersebut, lanjutnya, karena propaganda dari aksi teror serta gerakan separatis Aceh Merdeka. Perkembangan situasi global yang diwarnai isu terror dan peledakan-peledakan bom di tempat-tempat strategis yang dilakukan kelompok teroris di belahan dunia menyebabkan ancaman tersebut juga terjadi di Indonesia.
Di Riau daratan dan Kepulauan terdapat sebanyak 10 Kontrak Produksi Sharing (KPS) Pertamina. Di Riau daratan terdapat PT Caltex Pasific Indonesia (CPI), Kondur Petroleum, PT Exspan, Daerah Operasi Hulu (DOH), Badan Operasi Bersama (Joint Operating Body/ JOB) Pertamina, JOB Coastal Plains Pekanbaru (CPP) Block, dan PT Petronusa Bumi Bakti. Sedangkan di areal Kepulauan terdapat areal offshore seperti KPS Conoco Philips, Premier Philips, dan Star Energy di Pulau Natuna.
Tjokro mengatakan, keamanan perlu diprioritaskan pada lokasi eksplorasi gas di Natuna dan Matak. Lokasi ekslorasi yang sangat jauh dari jangkauan pihak keamanan menyebabkan lokasi tersebut rentan terhadap gangguan keamanan. “ Kondisi seperti ini mirip yang terjadi di Kalimantan Timur. Tapi pelaksana pengamanan disana lebih maksimal,� katanya.(ton)
Hal itu terungkap dalam rapat pengamanan bersama antara kontraktor kontrak kerjasama (K3S) Migas dan Polda Riau, kemarendi Hotel Aryaduta Pekanbaru. Dalam pertemuan itu, seluruh unsur K3S meminta perlindungan keamanan kepada jajaran Polda Riau.
“Kondisinya sudah mengkhawatirkan. Para nelayan asal Thailand tidak saja memasuki batas toleransi setengah mil dari wilayah eksplorasi tapi juga nekad memasuki ruang kantor (operation room). Ini khan sudah berbahaya,� kata Gunawan, perwakilan K3S untuk wilayah offshore.
Untuk meminta bantuan personil Polri, katanya, sulit dilakukan. Karena selain jaraknya cukup jauh, tapi juga jumlah personil yang siaga di Polsek tidak mencukupi. “ Setiap Polsek hanya ada sekitar lima personil. Untuk meminta bantuan kita membutuhkan waktu berjam-jam lamanya untuk mencapai lokasi offshore,� katanya.
Oleh sebab itu, pihaknya lebih banyak mendapat bantuan dari personil angkatan laut guna mengamankan lokasi eksplorasi dari gangguan bajak laut serta nelayan asing. Namun, seluruh perusahaan K3S tetap mengharapkan bantuan personil Polri yang bisa ditempatkan secara permanent di lokasi eksplorasi.
Senada dengan itu, perwakilan K3S dari unsure onshore, Rasfuldi menyebutkan gangguan keamanan pada ladang minyak di wilayah daratan yang paling menonjol adalah pencurian asset perusahaan. Selain itu, gangguan keamanan berupa aksi blokade terhadap lading minyak dapat membuat aktivitas terganggu.
PT Caltex Pasific Indonesia (CPI) mencatat lebih 500 persen peningkatan gangguan keamanan di ladang minyak onshore sejak reformasi bergulir. Pencurian asset perusahaan merupakan kasus paling menonjol.
“Amat disayangkan jika gangguan tersebut tidak bisa diatasi dengan cepat. Karena Riau memberikan kontribusi hampir separuh pamasukan Migas sebesar 25 persen terhadap APBN,� kata Rasfuldi.
Sedangkan Kepala Dinas Sekuriti Badan Pengelola (BP) Sektor Hulu Minyak dan Gas (Migas) Tjokro Suprihartono memprioritaskan pihak pengamaman local yang melakukan pengamanan di ladeang minyak offshore maupun onshore. “Meski banyak pihak pengamanan asing yang mengajukan penawaran untuk terlibat mengamankan ladang-ladang minyak di Indonesia,� katanya.
Menurut kaca matanya, keamanan di ladang minyak belum mengkhawatirkan seperti yang dilansir di media asing. “ Sehingga tidak enak didengar. Padahal situasinya masih kondusif, tapi mereka sudah sangat ketakutan,� ujarnya.
Ketakutan tersebut, lanjutnya, karena propaganda dari aksi teror serta gerakan separatis Aceh Merdeka. Perkembangan situasi global yang diwarnai isu terror dan peledakan-peledakan bom di tempat-tempat strategis yang dilakukan kelompok teroris di belahan dunia menyebabkan ancaman tersebut juga terjadi di Indonesia.
Di Riau daratan dan Kepulauan terdapat sebanyak 10 Kontrak Produksi Sharing (KPS) Pertamina. Di Riau daratan terdapat PT Caltex Pasific Indonesia (CPI), Kondur Petroleum, PT Exspan, Daerah Operasi Hulu (DOH), Badan Operasi Bersama (Joint Operating Body/ JOB) Pertamina, JOB Coastal Plains Pekanbaru (CPP) Block, dan PT Petronusa Bumi Bakti. Sedangkan di areal Kepulauan terdapat areal offshore seperti KPS Conoco Philips, Premier Philips, dan Star Energy di Pulau Natuna.
Tjokro mengatakan, keamanan perlu diprioritaskan pada lokasi eksplorasi gas di Natuna dan Matak. Lokasi ekslorasi yang sangat jauh dari jangkauan pihak keamanan menyebabkan lokasi tersebut rentan terhadap gangguan keamanan. “ Kondisi seperti ini mirip yang terjadi di Kalimantan Timur. Tapi pelaksana pengamanan disana lebih maksimal,� katanya.(ton)
0 komentar:
Posting Komentar