THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 07 Januari 2010

eksplorasi migas dan mineral




Nengok eksplorasi migas bentar ya ….
Mengapa Indonesia Timur ini agak lambat eksplorasi migasnya ?
Memang Indonesia Timur ini beda jauh secara geologi dari Indonesia Barat. Kalau pelajaran jaman sekolah SMP dulu yang barat disebut Dataran Sunda dan yang timur Dataran Sahul. Saat ini geoscience menyebutnya untuk bagian barat sebagai Sunda Shelf (paparan Sunda) bagian dari Eurasia Plate. Sedangkan yang timur bagian dari Australian Plate. Sakjane dulu batasnya sudah diperkirakan oleh ahli biologi Wallace, disebut Wallace line.
Cirinya Indonesia barat lautnya dangkal, Indonesia Timur lautnya sangat dalam. Namun ada yg dangkal di sebelah selatan Pulau Irian, yg merupakan kepanjangan dari Australia. Geologi Indonesia timur lebih kompleks karena tektonik tumbukannya juga dipengaruhi merangsuknya plate/kerak samodra dari Timur. Ini yg membuat Filipina makin runyem struktur lipatan dan patahan geologinya.
indonesia
Secara historis,
Indonesia barat diketemukan migas lebih dahulu dibanding Indonesia Timur. Dibornya sumur Talaga Said akhir abad 19, merupakan sumur tertua di Indonesia dan kedua di dunia. Eksplorasi selanjutnya merembet hingga Balikpapan. Hampir semua eksplorasi diketemukannya migas ada di Indonesia Barat. Disini secara tidak sengaja pengetahuan kita tentang Indonesia Barat lebih maju, dan Pengetahuan geologi Indonesia Timur menjadi tertinggal.
Secara geologis
Irian dan laut arafura yg cukup “dangkal” ini lebih mirip kondisi geologi NWShelf Australia hingga Timor Gap area. Itulah sebabnya dulu ARCO sekarang BP yang menemukan lapangan Gas Wiriagar (Kompleks Tangguh Field), mendekati dari pengetahuan geologinya dari Australi dan Nugini. Orang-orang Indonesia lebih sering mendekati geologi dari arah Indonesia Barat jelas susah nyambungnya.
Latar belakang pengetahuan, operasi dan teknologi
Karena kompleksnya geologi serta historis diatas, maka Indonesia timur hanya sedikit dipelajari. Secara operasi juga karena lautnya cukup dalam menjadikan teknologi drillingnya tertinggal. Nah kalau sesuai dengan uraian anda dengan new tekno mungkin nantinya (dan seharusnya sudah mulai) akan dikerjakan eksplorasinya.
Sayangnya daerah Indonesia Timur ini tidak termasuk diantara 41 blok (daerah) yg ditawarkan Migas bulan Agustus kemarin. Ntah mengapa aku ngga ngerti. Padahal ada Amborip Block disekitar Arafura itu yg masih belum “laku” (mungkin masih terbuka, aku mesti chek lagi!). Sedangkan Banda Sea yg laut sangat dalam ini pengetahuan geologinya orang-orang saat ini masih gelappp !!
Coba tengok 41 daerah yg ditawarkan 2006
Kendala operasi lainnya adalah, Indonesia ini kan sepertinya “juwalan” daerah untuk mengundang investor. Tetapi kesulitannya karena sepertinya banyak yg ngga tahu geologinya, ya gimana mau ngejualnya ? Misalnya berapa harga jualnya kan sulit nentuinnya, berapa splitnya yang menarik, bagaimana term eksplorasinya dll.
Latar politis, barangkali saja ada atau hanya efek yg diatas itu. Nah kalau ini njenengan aja yg njelasin aku ra mathuk :)
Yang aku tahu hanyalah:
- MIGAS tugasnya mengkapling2 blok utk “dijual”,
- BPMIGAS ini badan lain tugasnya mengawasi perusahaan kontraktor2 (KPS), misal Exxon, Chevron, Petronas dll … yg jumlahnya mungkin 60an lebih. Termasuk Lapindo, Medco dan juga Pertamina.
- Pertamina sendiri, ini yg dulu memegang ketiganya. Sekarang dibagi 3 spt diatas itu dan anda yg lebih tahu mengapa dibagi2 (lebih tepatnya dipecah).
Ketiga institusi diatas semuanya berada dibawah RI-1.
peta-lisensi pengerjaan eksplorasi migas
Indonesia Timur lebih maju dalam eksplorasi mineral bijih.
Indonesia Timur ini walaupun eksplorasi migasnya agak ketinggalan dari Indonesia Barat, namun sebaliknya dalam eksplorasi mineral bijihnya sangat maju. Anda tentunya tidak kaget dengan Freeport. Bijih cukup besar di Freeport berada di Irian Barat eh Papua. Bahkan dahulu ada pameo diawal kuliahku geologi tahun 80-an. Bahwa Indonesia Timur tempatnya mineral bijih, sedangkan Indonesia barat tempatnya minyak bumi.
Berita bagus penemuan gas di Lapangan Wiriagar (yg lebih dikenal sebagai pengembangan proyek Tangguh) merupakan jendela bagus perkembangan Migas Indonesia Timur. Dahulu juga ada berita pertambangan Indonesia barat yg menggegerkan, yaitu dengan berita penemuan tambang emas Busang yg ternyata “HOAX”. Aku pikir dulu Busang sebagai jendala atau pintu pembuka mineral bijih Indonesia Barat, ternyata salah.
Walau RUU Minerba masih dibahas” terus di DPR (sudah 6 tahun lebih), ada berita bagus perkembangan mineral bijih Indonesia barusaja datang dari kawan di pertambangan yg mengabarkan, beritanya ada disini. Juga kawan iagi lainnya mengabarkan beberapa perusahaan mineral bijih sudah kebelet mengekplorasi di daerah Sumatra.

Perkembangan Teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi Migas

Perkembangan Teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi Migas
 Contributed by Hatta Harris Rahman
(Jakarta, MADINA): Penerapan teknologi pada industri minyak dan gas (migas) kini menghadapi tantangan berat dari
soal peningkatan produksi, inefisiensi biaya, meroketnya harga minyak dunia hingga tuntutan dampak pencemaran
lingkungan.
Dalam Acara Offshore Northern Seas (ONS) Conference and Exhibition di Stavanger, Swedia. Beberapa waktu lalu
dipamerkan beberapa teknologi terbaru Eksplorasi dan Eksploitasi Migas. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
DESDM mengatakan, perkembangan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas terutama pada kawasan offshore dan
laut dalam sudah sangat pesat, sehingga dengan teknologi terbaru ini selain dapat meningkatkan produksi dengan
menekan losses hingga 5%, juga dapat menghemat biaya hingga sebesar 30% dalam penghematan perawatan
peralatan.

 “Selain keuntungan yang dapat diraih seperti disebutkan diatas, juga dapat menekan kemungkinan dampak
buruk terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan”, lanjut Bambang Dwiyanto.

 Teknologi lainnya yang dipamerkan pada acara tersebut yaitu, teknik Total Subsea Solution dan IOR (increase Oil
Recovery). Teknologi ini mengintervensi sumur dan “Drilling Sidetracks”, pada sumur existing didasar laut
dalam, pada kedalaman lebih dari 3000 meter. Metode ini menurut Bambang Dwiyanto telah diaplikasikan tanpa
menggunakan “Jack-up Rig”, tetapi menggunakan “Riserless Light well intervention” pada
kapal yang dilengkapi dengan sistem “ Dinamic Position” dengan pemboran dilakukan menggunakan
sistem “Composite Cable” yang terhubung dengan “Trought Tubin Rotary Drilling”.
Selanjutnya menurut beliau, hal lain yang menjadi unggulan teknologi sub-sea ini ialah meningkatkan laju produksi migas
dengan cara”Subsea Produced Water Removed”, yaitu memisahkan air dan menginjeksikannya kembali
pada lubang bor lainnya. Teknologi IOR ini telah berhasil mengekstrak 19 juta barrel di sumur-sumur North Sea.

 “ Teknologi tersebut merupakan teknologi masa depan yang dapat diterapkan pada lapangan minyak dan gas
bumi di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Laut Aru dan di Force Arc Basin dimana kedalaman lautnya melebihi 3000
meter”, ujar Kepala Badan Litbang.

 Selain teknologi diatas, dipamerkan juga produk kapal eksplorasi, kapal logistik, sea strukture, dan berbagai floating
system, integrated marine operation, galangan kapal serta konstruksi laut galangan kapal terbesar yang terletak di
Trodheim, Norwegia yang dilengkapi dengan Ocean Basin, Towing Tank, dan Cavitation Tunnel yang dapat
menghasilkan produk unggulan dengan biaya efisien.

 Sehubungan dengan upaya untuk mereduksi emisi CO2, turut didemontrasikan teknik CO2 Capture and Storage (CCS)
yang memberikan solusi dalam menginjeksikan kembali CO2 ke dalam tanah dengan cara yang aman. Sehubungan
dengan hal ini dan dalam rangka mitigasi perubahan iklim (Climate Change Mitigation) maka telah dilakukan penjajakan
kemungkinan kerjasama CSS dengan beberapa Riset Centre di industri migas.(ADMINISTRATOR/esdm.go.id)
Madina Online
http://www.madina-sk.com Powered by Joomla! Generated: 8 January, 2010, 00:48

Perkembangan Teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi Migas

Perkembangan Teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi Migas

JAKARTA. Penerapan teknologi pada industri minyak dan gas (migas) kini menghadapi tantangan berat dari soal peningkatan produksi, inefisiensi biaya, meroketnya harga minyak dunia hingga tuntutan dampak pencemaran lingkungan.

Dalam Acara Offshore Northern Seas (ONS) Conference and Exhibition di Stavanger, Swedia. Beberapa waktu lalu dipamerkan beberapa teknologi terbaru Eksplorasi dan Eksploitasi Migas. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DESDM mengatakan, perkembangan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas terutama pada kawasan offshore dan laut dalam sudah sangat pesat, sehingga dengan teknologi terbaru ini selain dapat meningkatkan produksi dengan menekan losses hingga 5%, juga dapat menghemat biaya hingga sebesar 30% dalam penghematan perawatan peralatan.

“Selain keuntungan yang dapat diraih seperti disebutkan diatas, juga dapat menekan kemungkinan dampak buruk terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan”, lanjut Bambang Dwiyanto.

Teknologi lainnya yang dipamerkan pada acara tersebut yaitu, teknik Total Subsea Solution dan IOR (increase Oil Recovery). Teknologi ini mengintervensi sumur dan “Drilling Sidetracks”, pada sumur existing didasar laut dalam, pada kedalaman lebih dari 3000 meter. Metode ini menurut Bambang Dwiyanto telah diaplikasikan tanpa menggunakan “Jack-up Rig”, tetapi menggunakan “Riserless Light well intervention” pada kapal yang dilengkapi dengan sistem “ Dinamic Position” dengan pemboran dilakukan menggunakan sistem “Composite Cable” yang terhubung dengan “Trought Tubin Rotary Drilling”. Selanjutnya menurut beliau, hal lain yang menjadi unggulan teknologi sub-sea ini ialah meningkatkan laju produksi migas dengan cara”Subsea Produced Water Removed”, yaitu memisahkan air dan menginjeksikannya kembali pada lubang bor lainnya. Teknologi IOR ini telah berhasil mengekstrak 19 juta barrel di sumur-sumur North Sea.

“ Teknologi tersebut merupakan teknologi masa depan yang dapat diterapkan pada lapangan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Laut Aru dan di Force Arc Basin dimana kedalaman lautnya melebihi 3000 meter”, ujar Kepala Badan Litbang.

Selain teknologi diatas, dipamerkan juga produk kapal eksplorasi, kapal logistik, sea strukture, dan berbagai floating system, integrated marine operation, galangan kapal serta konstruksi laut galangan kapal terbesar yang terletak di Trodheim, Norwegia yang dilengkapi dengan Ocean Basin, Towing Tank, dan Cavitation Tunnel yang dapat menghasilkan produk unggulan dengan biaya efisien.

Sehubungan dengan upaya untuk mereduksi emisi CO2, turut didemontrasikan teknik CO2 Capture and Storage (CCS) yang memberikan solusi dalam menginjeksikan kembali CO2 ke dalam tanah dengan cara yang aman. Sehubungan dengan hal ini dan dalam rangka mitigasi perubahan iklim (Climate Change Mitigation) maka telah dilakukan penjajakan kemungkinan kerjasama CSS dengan beberapa Riset Centre di industri migas.

Rasio Pemboran Eksplorasi Wild Cat Capai 50%

Rasio Pemboran Eksplorasi Wild Cat Capai 50%

Minggu, 3 Januari 2010 - 09:17 wib
text TEXT SIZE :  
Candra Setya Santoso - Okezone
Foto: Koran SI
JAKARTA - Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi mampu mempertahankan sucsess ratio pemboran eksplorasi wild cat mencapai 50 persen. Pencapaian success ratio sebesar ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata dunia yang besarannya antara 20-30 persen.

”Dengan pencapaian sebesar itu membuktikan bahwa kemampuan operator-operator perminyakan kita sudah teruji”, ujar Kepala BP Migas R Priyono dalam acara Press Conference akhir tahun antara BP Migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), seperti dikutip dalam situs ESDM, di Jakarta, Minggu (3/1/2010).

Dijelaskannya, KKKS sudah semakin mengenal daerah-daerah eksplorasinya, semakin menguasai teknologi eskplorasi di Asia Pasifik terutama di Indonesia.

Tahun 2009 telah dilakukan pemboran sumur eksplorasi sebanyak 73 sumur. Hingga November 2009, terdapat 50 sumur yang sudah selesai dites, dengan penemuan sebanyak 33 buah maka rasio kesuksesan pemboran sumur eksplorasi sebesar 46 persen, atau lebih tinggi dari rata-rata dunia sebesar 20-30  persen.

Pencapaian sukses rasio tersebut juga membuktikan bahwa prospek kegiatan industri hulu migas di Indonesia masih cukup menjanjikan. Wild cat (Taruhan) merupakan sumur eksplorasi yang dibor di daerah yang masih belum terbukti mengandung minyak yang berdasarkan pertimbangan geologis diharapkan mempunyai akumulasi hidrokarbon.

Dalam kesempatan yang sama R. Priyono juga menambahkan, meski produksi minyak nasional belum mencapai target (98,91  persen) namun produksi gas bumi justru melampaui target nasional yang sudah ditetapkan (106  persen). Secara jumlah Barrel Equivalent minyak dan gas tahun 2009 lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Meskipun dari sisi produksi tidak memenuhi sasaran APBN namun pada akhirnya menurut Kepala BP Migas pada akhirnya masyarakat menilai dari sisi penerimaan negara, dalam Rupiah maupun US Dollar. Untuk tahun 2009 sebesar USD19,7 miliar atau melebihi target sebesar USD18,8 miliar.
(css)

blowout

Kejadian Blowout (keluarnya fluida dari dalam bumi ke permukaan tidak terkendali), yang merupakan akibat langsung dari kegiatan pemboran di wilayah Sukowati dan Sidoardjo telah sangat mengagetkan masyarakat, menakutkan, dan tidak jarang memberi trauma seperti halnya kejadian gempa bumi maupun tsunami. Tentu hal ini dapat dilihat sebagai imbal-balik dari kegiatan manusia yang “bermain-main”, dan berusaha mengeksploitasi alam semesta.

Kejadian Blowout selama ini sering terjadi pada industri migas, dan jarang sekali mengakibatkan efek langsung kepada masyarakat, justru keselamatan pekerja yang memang dekat dengan sumber bencana sangat dikhawatirkan. Sehingga peraturan keselamatan kerja bidang migas sangat ketat, dapat kita lihat pada kasus Sukowati maupaun Sidoardjo tidak ada pekerja yang cedera, begitu pula dalam sejarah Blowout Indonesia maupun dunia hanya sedikit mencederai pekerja maupun manusia pada umumnya. Namun dalam kasus Sidoarjo telah mengakikatkan dampak terutama terhadap masyarakat yang sangat signifikan, walaupun pelan tapi pasti, hal ini diperparah dengan sangat lambatnya penanggulangan, baik karena keteledoran maupun karena faktor-faktor non-teknis yang disebabkan ketidak-tegasan dalam perintah serta tugas yang diberikan pada pelaksana di lapangan.
Akibat dari penanganan yang lambat dan lalai seperti ini mengakibatkan efeknya sangat dahsyat dan berlangsung sangat lama, dan akan menjadi sejarah baru dalam dunia migas atau mungkin satu-satunya di dunia, dimana panganan Blowout dilakukan lebih dari setahun.
Dalam statistik dunia sudah ratusan bahkan ribuan kali terjadi blowout, dan di Indonesia menurut catatan penulis dalam 35 tahun terakhir setidaknya telah terjadi blowout sebanyak 17 kali, sehingga hampir setiap 2-3 tahun terjadi kecelakaan Blowout pada saat pengeboran sumur. Bila dibandingkan dengan kegiatan pemboran 300-350 sumur setiap tahun, maka berarti hampir setiap 1000 sumur pemboran terjadi 1 kali kecelakaan blowout.
Disisi lain sejarah menunjukan bahwa seluruh kecelakaan blowout selalu dapat ditanggulangi, ada yang dengan cepat dan ada pula yang bisa berbulan-bulan.
Namun kecelakaan bukanlah hanya sebuah angka, tapi mengapa selalu berulang, Apakah kejadian ini sebagai imbalan dari alam kepada kita.
Antara Kecelakaan dan keteledoran
Indikasi awal sebuah Blowout adalah terjadinya kick yaitu masuknya fluida (air, minyak, atau gas) kedalam lubang sumur yang sedang dibor, kemudian kick yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan fluida mengalir sampai ke permukaan yang dikenal dengan Blowout.
Apabila kick terdeteksi, setiap ahli pemboran sudah dibekali dengan keterampilan Pressure Control untuk menghentikannya. Sehingga seharusnya setiap ada indikasi kick selalu dapat ditanggulangi. Namun munculnya kick seringkali datang dalam waktu yang sangat cepat hanya beberapa menit saja, sehingga bencana Blowout yang sangat tidak diinginkan oleh setiap ahli pemboran bisa terjadi sewaktu-waktu.
Faktor alamiah saat pemboran dilakukan justru sangat dominan dalam kasus kick ini, karena pada saat perencanaan pemboran dimulai para pekerja hanya dibekali dengan prediksi yang dibuat ahli geologi dan geofisik tentang lapisan batuan yang akan ditembus, baik kualitas maupun perkiraan tekanannya, namun alam di bawah tanah dengan posisi ribuan meter tidak ada yang bisa memastikan, oleh karena itu kecelakaan kick dan blowout ini tetap saja terjadi dan mungkin tetap akan terjadi pada pemboran-pemboran sumur migas berikutnya.
Namun Kejadian Blowout dapat dihindari apabila selama pemboran dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan selalu melaksanakan pekerjaan sesuai SOP (Standard Operating Procedure), serta sebelumnya dilengkapi dengan informasi yang baik dari team Geologi dan geofisik.
Penyebab Kick atau blowout
Selama ini Blowout yang dikenal ada tua jenis, yaitu Surface Blowout (SBO) dan Underground Blowout (UGBO), dimana SBO bila fluida keluar melalui lubang pemboran, sedangkan UGBO bila keluar bukan dari lubang pemboran. Penanggulangan untuk SBO jauh lebih mudah dan cepat, tidak jarang dapat dilakukan hanya dalam beberapa jam, namun UGBO akan memerlukan waktu yang cukup lama, bisa mencapai berbulan-bulan.
Kasus di Sumur Sikowati-5 akhir bulan Juni 2006 di Bojonegoro adalah masih dalam tahap Kick, bukan blowout, karena gas yang naik masih dapat terdeteksi sehingga mampu ditangani dan dikeluarkan, kemudian diinjeksikan lumpur yang sesuai dan pemboran dapat diteruskan sesuai rencana semula. Namun bila kick ini tidak ditangani dengan tuntas, tidak dikeluarkan, bisa saja malah terjadi SBO ataupun UGBO yang mengerikan melebihi kasus Sidoardjo dapat terjadi, berutunglah tim Petrochina dengan segera menyelesaikan kick ini dan rnengeluarkan gas dalam annulus lubang sumur dengan terkendali. Adapun gas yang keluar harus dibakar sehingga tidak membahayakan lingkunan dan penduduk, justru akan sangat berbahaya bila dibiarkan lepas ke udara dan tidak dibakar, atau sebaliknya hanya menunggu dan menutup sumur tanpa
melakukan apa-apa, justru akan memicu terjadinya SBO ataupun UGBO.
Kasus di Sumur Banjarpanji-1 Sidoardjo pada saat Kick pertama kali terjadi telah ditanggulangi pula oleh team Lapindo, namun karena Pipa pemboran hanya sampai kedalaman 4241 feet (setengah lubang dengan kedalaman 9297 feet) maka masih ada potensi kick lanjutan (kedua, ketiga, dst) dapat terjadi sebelum seluruh lubang terisi dengan fluida lumpur yang memiliki densitas yang melebihi EMW (Equivalent Mud Weight, Tekanan batuan yang dinyatakan dalam satuan berat Lumpur).
Dari Laporan pemboran harian terbaca bahwa memang terjadi penganan yang mengakibatkan tekanan di dalam lubang melebihi tekanan rekah batuan, hal ini bisa terjadi karena sejak kedalaman 3580 feet sampai 9297 feet (5717 feet atau 1750 meter) lubang dalam keadaan terbuka tanpa pipa pelindung yang disebut Casing, sehingga terjadi UGBO. Kekhasan sumur BJP-l adalah, bukan gas atau minyak yang keluar, akan tetapi air asin-panas yang kemudian diperjalanan ke permukaan membawa tanah liat (Shale) sehingga muncul di permukaan sebagai lumpur-panas, maka diperlukan penanggulangan yang khusus.
Kedua kejadian di Jawa Timur ini menyadarkan kita, bahwa teknologi pemboran migas adalah termasuk teknologi yang beresiko kecelakaan sangat tinggi. Kick dan blowout adalah salah satu kecelakaan yang sering dihadapi dalam industri migas diantara puluhan jenis kecelakaan lainnya yang sering muncul.
Resiko Pemboran
Resiko pemboran dapat mengakibatkan kerugian finansial sampai ratusan juta dollar, kerugian lingkungan yang bisa tercemar, dan resiko bisa merenggut nyawa manusia terus berlanjut, namun Pemboran tidak harus dilarang di tempat sulit sekalipun, seperti di tempat yang penuh penduduk, di laut yang sangat dalam, namun pemboran di tempat sulit harus dilakukan dengan standar keselamatan dan keamanan yang tinggi. Hal ini mestinya tertuang dalam suatu dokumen yang mengikat antara pemerintah sebagai wakil masyarakat dengan perusahaan pelaksana, misalnya dalam RPL & RKL atau dalam dokumen tersendiri seperti Contingency Plan atau Emergency Respon Plan (Rencana Tanggap Darurat).
Namun menghindari resiko harus terus diusahakan, mulai dari peralatan yang baik, sampai pekerja yang memiliki keterampilan dan bersertifikat. Sehingga selama para pekerja melakukannya sesuai kaidah keteknikan yang benar. Dalam kasus BJP-1 Faktor terpenting yang melemahkan adalah belum terpasangnya pipa pelindung (casing) yang cukup panjang, dimana terdapat lapisan Shale sepanjang 2520 feet (750 meter) yang terbuka sehingga mengakibatkan pipa pemboran terjepit dan telah menghambat pengangan Kick dengan benar, serta lubang menjadi lebih mudah terpecahkan oleh tekanan di dalam lubang pemboran.
Siapa yang Bertanggung Jawab
Kejadian di BJP-l Sidoardjo jelas merupakan kecelakaan pada proses pemboran, sehingga penanggulangannya wajib dilaksanakan oleh operator pelaksana, sesuai dengan kaidah dalam kontrak kerjasama Migas, yaitu pihak pemerintah menyerahkan konsesi untuk dikelola dengan biaya dan resiko ada pada kontraktor, namun pemerintah akan membayar segala pengeluaran apabila lapangan sudah berproduksi di kemudian hari, namun pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran dalam rangka memproduksikan migas, bukan kecelakaan akibat keteledoran, apalagi karena selama pelaksanaan sudah diluar dari rencana dan ketentuan yang ada.
Oleh karena itu biaya mematikan semburan bisa saja nantinya dibayar pemerintah dengan skema Cost Recovery (dibayar bila sudah berproduksi), namun beban kecelakaan yang mengakibatkan masyarakat dirugikan harus menjadi tanggung-jawab Lapindo, apalagi jual-beli tanah seluas 600 Ha tentu yang membayar harus Lapindo karena sertifikatnya akan menjadi kepemilikan Lapindo (ini sebagai jula-beli tanah biasa), begitu pula kerugian pengusaha yang terendam, dan reklamasi lingkungan sudah jelas harus ditanggung oleh Lapindo secara bertanggung jawab.

Pelayanan Pemboran

Pelayanan Pemboran

Pusat Sumber Daya Geologi melayani kegiatan pemboran eksplorasi yang meliputi pemboran untuk endapan batubara dan gambut, mineral logam (emas, perak, timah hitam, timah putih, dll), mineral non logam (pasir, batugamping, andesit, fosfat, dll) serta pemboran panas bumi.


Fasilitas Peralatan Pemboran dan Bengkel Alat Berat Serta Geofisika


Mesin bor Long Year 38 (Truck Mounted), Long Year 38, 34, 24, HC-28 (Skid Mounted), Koken RK-3A, OE-8BH (Skid Mounted), Tone Top 150 (Crawlwer Mounted), Tone THS-5m Skid Mounted, EDECO SD-40 (Skid Mounted), MECA BANKA, Winkie Drill, dll.Mesin Bubut CNC Cholchester Universal 650, Milling, Shaping, Gergaji, Bor, Mesin Las (TIG, MIG, Listrik, Ecetylene), Forklift 2 Ton, Crane 10 ton, dll. 


Crawler Drill



Truckmounted


Peralatan Bubut



Mesin


CNC



Crawler Drill


Geolistrik


GPS (Global Positioning System)   


Theodolite (T0) dan Waterpass



Peralatan Pemboran Eksplorasi



Peralatan Las

Kontrak Kerjasama Migas di Indonesia (1), “sejarah dan perkembangan”

Kontrak Kerjasama Migas di Indonesia (1), “sejarah dan perkembangan”

2009 September 25

Seiring perkembangannya di indonesia, bentuk kontrak kerjasama migas di indonesia telah memalui tiga model, yaitu sistem konsesi, kontrak karya, dan bagi hasil.

1. Sistem Konsesi, lebih dikenal dengan nama “Kontrak 5a”

Sistem ini dibuat pada zaman kolonial dengan mengacu pada Indische mijnwet 1899 yang menatur tentang pengusahan pertambanagn di indonesia. Konsesi adalahsuatu perjanjian yang dibuat oleh negara pemilik atau pemegang kuasa pertambangan dengan kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan, jika berhasil, produksi serta memasarkan hasilnya tanpa melibatkan negara pemberi konsesi dalam manajemen operasi.1
Ketentuan yang berlaku pada konsesi migas antara lain,

  • Kontraktor bertindak selaku operator sekaligus bertanggug jawab atas manajemen operasi.
  • Kepemilikan minyak dan gas bumi berada di tangan kontraktor.
  • Kepemilikan aset berada di tangan kontraktor dengan batasan tertentu.
  • Negara mendapat pembagian pembayaran royalti dihitung dari tingkat produksi tertentu.
  • Pajak penghasilan dikenakan kepada kontraktor dari keuntungan bersih. (pajak penghasilan dan pajak tanah).

2. Kontrak Karya, berlaku sejak tahun 1960 sampai 1963
Sistem kontrak ini dikembangkan dari UU no. 37 Psp/1960 tentang pertambangan. Perjanjian kontrak karya memuat lima ketentuan pokok, antara lain:

  • Setiap perusahaan melepas hak konsesi yang diperoleh pada masa kolonial dan sebagai gantinya setuju menjadi kontraktor salah satu dari tiga perusahaan negara (Pertamin, Permina, dan Permigan).
  • Perusahaan diberi kontrak berjangka waktu 20 tahun untuk melanjutkan eksploitasi ke daerah2 konsesi lama.
  • Fasilitas pemasaran dan distribusi diserahkan kepada perusahaan negara yang mengntrak dalam waktu lima tahun dengan harga yang telah disetujui bersama.
  • Fasilitas kilang akan diberikan kepada INdonesia dalam waktu 10-15 tahun dengan nilai yang telah disetujui bersama.
  • Keuntungan operasi perusahaan asing dibagi 60:40 dengan pemerintah.

3. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Model ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo pada 1960. Model ini diadopsi oleh banyak negara di dunia termasuk Malaysia dengan Petronasnya. Sistem PSC ini baru diterapkan di Indonesia sejak tahun 1964 dan telah melalui beberapa perubahan dan generasi hingga sekarang. Pada model kontrak ini, kontraktor hanya diberi hak ekonomis atas kuasa pertambangan yang dikuasai Perusahaan Negara melalui pola pembagian hasil (Production Sharing), bukan keuntungan dalam bentuk uang (profit sharing).

Pengelolaan Migas Aceh dalam Perspektif UUPA


Pengelolaan Migas Aceh dalam Perspektif UUPA


"UUPA bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah," kata Agung Lakosono, Ketua DPR RI (tempointeractive.com, 25/07/08). Namun, tidak dapat dipungkiri kalau UUPA lahir dari suatu proses politik yang tidak biasa (extraordinary law) melalui sebuah Memorandum of Understanding atau yang dikenal dengan MoU Helsinki.

UUPA merupakan hasil kesepakatan politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI yang tidak hanya menyangkut sektor tata pemerintahan yang bersifat otonom, namun juga menyangkut sejumlah sektor lain yang biasanya diatur dalam undang-undang sektoral

Salah satu sektor yang sangat menarik untuk dikaji dan ditunggu implementasinya adalah menyangkut pengelolaan sumber daya alam khususnya migas. Kewenangan Pemerintah Aceh terhadap sektor ini diformulasikan dalam pasal 160 ayat (1) dan (2). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Pemerintah Aceh mempunyai wewenang untuk mengelola sumber daya alam (migas) Aceh dengan membentuk satu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dengan pemerintah pusat. Penekanan pada kata “bersama” secara terminologi memberi pengertian bahwa Pemerintah Aceh hanya mempunyai kewenagan 50% sedangkan setengah lagi masih berada ditangan pemerintah pusat.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sudah sejauh mana implementasi dari undang-undang ini diimplementasikan dalam pengelolaan migas di Aceh? Setelah dua tahun sejak disahkan pada sidang Paripurna tanggal 11 Agustus 2006 implementasi khususnya dalam pengelolaan migas Aceh masih nol besar, terhambatnya implementasi ini karena hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan menjadi acuan operasional di lapangan dan acuan dalam merancang Qanun Pengelolaan Migas.

Sebenarnya Pemerintah Aceh sendiri telah mengambil inisiatif yang sangat baik untuk mempercepat lahirnya PP yang berkaitan dengan UUPA di sektor Migas. Pemerintah Aceh akan segera membentuk Tim Advokasi Migas yang terdiri dari ahli migas, ekonomi dan hukum. Tim ini bertugas merancang dan menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) migas Aceh untuk mempercepat keluarnya PP migas Aceh. Pada akhir Desember 2007 tim ini telah berhasil menyusun satu draft Rancangan Pengelolaan Migas Aceh yang kemudian diserahkan kepada Mendagri untuk dikaji dan ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah.

Melalui PP ini nantinya diharapkan ada suatu penjabaran yang lebih mendetil terhadap pembagian kewenagan di sektor migas antara pemerintah pusat dan Aceh. Terminologi “bersama” yang temuat dalam Pasal 160 UUPA tidak lagi menimbulkan ambiguitas dalam implementasi nantinya.

Pengelolaan Ideal Migas Aceh

Sebelum melihat pegelolaan migas Aceh dalam perspektif UUPA, ada baiknya kita melihat bagaimana kebijakan pengelolaan migas di Indonesia. Saat ini, wewenang pengelolaan sumberdaya alam migas sepenuhnya berada di Pusat sesuai dengan UU No. 22 tahun 2001. Undang-undang ini snagat pro kepada korporatokrasi yang lebih banyak merugikan pemerintah. Dalam UU ini pemerintah daerah tidak memiliki kewengan dalam pengelolaan migas. Pada sektor Hulu (eksplorasi dan eksploitasi), kewenangan pemerintah pusat dijalankan oleh satu badan pelaksana yang dibentuk dengan undang-undang yang disebut BP Migas sedangkan disektor Hilir kewenagan ini dipangku oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

Selama ini daerah penghasil migas seperti Riau, Aceh, dan daerah lainnya hanya diundang empat kali setahun untuk mendengarkan pembagian hasil penjualan (lifting) migas. Daerah penghasil tidak bisa mempertanyakan hasil lifting tersebut karena memang tidak punya data berapa ribu barel minyak yang setiap hari disedot dari lapangan-lapangan minyak mereka dan berapa MMSCF gas yang telah diekploitasi. Data ini hanya dimiliki oleh pemeintah pusat atau BP Migas. Satu badan yang selama ini menjadi penguasa tunggal dalam pengeksploitasian minyak dan gas di negara ini.

Sebenarnya apa yang hendak ingin dicapai Pemerintah Aceh setelah adanya UUPA dalam pengelolaan Migas? Berdasarkan draft inisiatif RPP Migas Aceh yang diajukan ke Pusat, tergambar dengan jelas keinginan Pemerintah Aceh untuk dapat telibat dalam pengelolaan sumberdaya alam migas. Pemerintah Aceh menginginkan adanya satu Badan Pengelola Migas Aceh tersendiri yang independen dari badan pengelola konvensional yang telah ada selama ini yaitu BP Migas.

Badan pengelola yang akan dibentuk ini secara struktur organisasi berada di bawah Pemerintah Aceh yang bertanggung-jawab kepada gubernur. Badan ini memiliki kewenagan dalam melakukan persiapan tender eksplorasi lapangan baru, pengawasan terhadap kontraktor migas yang beroperasi di wilayah Aceh serta penjualan dan kontrak penjualan minyak dan gas.

Selama ini semua aspek di atas adalah kewenangan pemerintah pusat termasuk untuk kontrak penjulan gas. Kontrak penjualan gas selama ini selalu memprioritaskan kebutuhan luar negeri sedangkan kebutuhan domestik selalu terbaikan. Hal ini telah menimpa industri-industri di Aceh seperti PT. Aceh Asean Fertilizer, PT. Kertas Kraft Aceh, dan lain-lain. Industri tersebut terpaksa ditutup karena tidak mempunyai suplai gas yang cukup untuk berproduksi, bahkan PT. Pupuk Iskandar Muda sampai saat ini harus berjuang mencari gas-gas kelebihan ekspor dari Bontang.

Hal ini terjadi karena gas dari PT. Arun telah terikat kontrak dengan konsorsium perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea. Sehingga gas yang dicairkan di PT. Arun hanya diprioritaskan untuk pemenuhan kontrak tersebut. Ini sangat tidak adil bagi Aceh mengingat selama ini industri-industri tersebut bergantung dari pasokan gas yang berasal dari PT. Arun. Di lain pihak, pemerintah pusat juga tidak mencari jalan dalam upaya pemenuhan gas.

Lahirnya RPP Migas Aceh diharapkan dapat mengatasi segala permasalahan di atas dan memberikan kejelasan kewenangan bersama antara Pusat dan Aceh dalam penentuan target produksi, administrasi dan sistem penjualan minyak dan gas, pengembalian biaya produksi (cost recovery) dan aloksasi pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi di wilayah darat dan laut Aceh.

Sesungguhnya perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang ideal masih lama, entah berapa pendekatan dan lobi tinggkat tinggi lagi yang harus dilakukan pemerintah Aceh untuk bisa ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri. Keikhlasan dari Pemerintah Pusat untuk mengalihkan separuh kewenagannya di sektor Migas ke Pemerintah Aceh sangat diharapkan sehingga Aceh dapat segera mengejar ketertinggalannya dan kesejahteraan di Aceh dapat segera terwujud.

Kontrak Baru Wilayah Kerja (WK) Migas Baru Dapat Dirasakan Manfaatnya 10 Tahun Kemudian

Tepat hari Selasa tanggal 30 Oktober lalu Pemerintah mengumumkan penawaran 26 Blok/Wilayah Kerja (WK) migas kepada para investor (Peta 26 Blok Baru Ditawarkan Tahun 2007). Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro saat memberikan sambutan pada acara pembukaan Society of Petroleum Engineers (SPE) dan Asia Pasific Oil & Gas Conference and Exhibition (APOGCE) 2007 di Jakarta Convention Centre, yang dibuka langsung oleh Presiden SBY. Masing-masing wilayah kerja diperkirakan memiliki potensi sumber daya migas sekitar 30 hingga 1.069 juta setara barel minyak (mile-mile barrel oil equivalent/MMBOE), yang diharapkan akan memperoleh investasi baru senilai US$ 445 juta.

Blok/Wilayah Kerja (WK) yang akan dilelang kali ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2006 lalu yang hanya 20 blok (Pengumuman_Pemenang_Lelang_Wilayah_Kerja_Tahun_2006). Dari 26 blok yang ditawarkan tersebut, terdapat 5 blok yang sudah pernah ditawarkan tahun lalu namun kurang laku (tidak terjual/tidak diminati). Kelima blok tersebut adalah Cakalang West Natuna, Kerapu Block West Natuna, Baronang, Cucut West Natuna, dan Dolphin. Enam blok lain yang tahun lalu ditawarkan tetapi kurang diminati investor seperti blok Malunda, Sadang, South Mandar, South Sageri, Tigau, dan Mentana, tahun ini tidak ditawarkan kembali.

Respon investor kali ini kelihatannya akan lebih baik dibanding tahun lalu, karena tujuh perusahaan minyak besar dunia atau yang dikenal sebagai The Seven Sisters seperti Total, Shell, Chevron, BP dan ExxonMobil, telah menyatakan ketertarikannya pada WK Blok Semai I-V yang terletak di Papua. Cadangan migas di blok tersebut diperkirakan sekitar satu miliar setara barel minyak.

Kalau tahun lalu blok yang terjual kurang dari 50% (hanya 9 blok yang terjual), dengan keikutsertaan The Seven Sisters diharapkan tahun ini bisa laku lebih dari 50% atau lebih dari 13 blok/wilayah kerja. Dari kesembilan investor yang memenangkan blok/wilayah kerja tersebut tahun 2006, total komitmen 3 tahun pertama yang akan direalisasikan mencapai US$ 411,069 juta. Selain itu pemerintah juga menerima bonus tanda tangan (signature bonus) US$ 30,090 juta yang diterima langsung 30 hari setelah penandatanganan KKS. Komitmen selama 3 tahun tersebut akan digunakan untuk studi geologi dan geofisika senilai US$ 12,915 juta, survei seismik 3D seluas 5.500 km2 senilai US$ 58,78 juta, survei siesmik 2D sepanjang 8.560 km senilai US$ 13,874 juta dan komitmen pemboran sumur eksplorasi sebanyak 22 sumur senilai US$ 325,5 juta.

Tidak seperti bisnis lainnya, meskipun penawaran blok migas ditujukan sebagai bagian dari upaya peningkatan cadangan dan produksi migas nasional, dampak dari penawaran blok migas ini baru bisa dirasakan paling cepat 10 tahun kemudian sejak kontrak ditandatangani. Sesuai Undang-Undang Migas No. 22 tahun 2001 pasal 15 ayat 2, masa eksplorasi diberikan 6 tahun dan perpanjangannya paling lama 4 tahun. Jika kita asumsikan eksplorasinya hoki sehingga dalam waktu 6 tahun berhasil menemukan cadangan terbukti yang komersial dan tidak butuh perpanjangan waktu, maka dengan waktu pengembangan lapangan dan conditioning selama 4 tahun akan memerlukan waktu 10 tahun untuk fasa pra-produksi. Dengan demikian, baru tahun ke-11 peningkatan produksi Nasional akan dapat dirasakan. Dan selama 10 tahun tersebut, penurunan produksi dari blok-blok eksisting tidak akan dapat dihindari.

Ekspor Juni 2006 Catat Rekor Tertinggi Dalam Sejarah Indonesia

Ekspor Juni 2006 Catat Rekor Tertinggi Dalam Sejarah Indonesia

Kapanlagi.com - Nilai ekspor pada Juni 2006 yang mencapai US$8,48 miliar atau naik 1,70% dibanding ekspor Mei 2006 sebesar US$8,34 miliar menjadi rekor tertinggi dalam sejarah ekspor Indonesia.

Namun demikian, kenaikan nilai ekspor tersebut juga dibarengi dengan kenaikan nilai impor Indonesia pada Juni 2006 sebesar us45,67 miliar atau naik 12,00% dibanding Mei 2006 sebesar us$5,06 miliar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, peningkatan ekspor bulan Juni 2006 disebabkan oleh meningkatnya ekspor non migas sebesar 2,38% yaitu dari us$6.552,9 juta menjadi us$6.709,0 juta. Sementara ekspor migas mengalami penurunan 0,82% dari us$1.789,1 juta menjadi us$1.774,4 juta.

Penurunan ekspor migas tersebut disebabkan menurunnya ekspor hasil minyak sebesar 20,69% menjadi us$180,2 juta dan ekspor gas turun sebesar 17,22% menjadi us$,1 juta.

Namun ekspor minyak mentah naik 30,73% menjadi us$,1 juta meski harga rata-rata minyak mentah Indonesia di pasar dunia turun dari us$70,01 per barel di bulan Mei 2006 menjadi US$67,85 di bulan Juni 2006.

Bila dibandingkan dengan bulan Juni 2005, nilai ekspor Juni 2006 mengalami peningkatan 23,05%, yang disumbang oleh naiknya ekspor non-migas sebesar 24,76% dan ekspor migas naik sebesar 16,99%.

Penurunan ekspor migas (berdasarkan data Pertamina dan BP Migas) bulan Juni 2006 terhadap Mei 2006 disebabkan oleh menurunnya volume ekspor hasil minyak dan gas, masing-masing turun sebesar 3,38% dan 14,97%. Sebaliknya volume ekspor minyak mentah mengalami peningkatan sebesar 33,46%.

Peningkatan terbesar ekspor non migas bulan Juni 2006 terhadap bulan Mei 2006 terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$104,3 juta sedangkan penurunan terbesar pada bahan bakar mineral sebesar US$125,3 juta.

Komoditi lainnya yang juga mengalami peningkatan ekspor adalah alas kaki US$50,2 juta; pakaian jadi bukan rajutan US$64,7 juta; bijih, kerak, dan abu logam US$34,6 juta, mesin-mesin/pesawat mekanik US429,9 juta; dan karet serta barang dari karet sebesar US$21,8 juta.

Sedangkan komoditi yang mengalami penurunan selain bahan bakar mineral adalah ikan dan udang sebesar US432,2 juta; perabot, penerangan rumah sebesar US$0 juta; serta kayu dan barang dari kayu sebesar 40,0 juta dolar.

Selama periode Januari-Juni 2006, ekspor dari 10 golongan barang di atas memberikan kontribusi 50,37% terhadap total ekspor non-migas. Dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat 11,11% terhadap periode yang sama tahun 2005.

Sementara itu, peranan ekspor non-migas diluar 10 golongan barang memberikan kontribusi 49,63% terhadap total ekspor non-migas.

Jika dilihat dari negara tujuan, ekspor non-migas Indonesia pada bulan Juni 2006 ke Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura masing-masing mencapai 1.065,9 juta dolar, 947,3 juta dolar dan 807,9 juta dolar, dengan peranan ketiganya mencapai 42,05%.

Ekspor non-migas ke Jepang mengalami peningkatan terbesar yaitu 179,9 juta dolar, diikuti Singapura 112,8 juta dolar, Amerika Serikat 37,2 juta dolar, Korea Selatan 30,3 juta dolar, Australia 25,7 juta dolar, Uni Eropa 20,6 juta dolar, China 14,4 juta dolar dan Taiwan 3,4 juta dolar.

Sementara penurunan bulan Juni 2006 terjadi pada ekspor non-migas ke Malaysia sebesar 152,7 juta dolar. Secara keseluruhan, total ekspor ke sembilan negara tujuan utama di atas naik 5,60%, lebih tinggi dibanding peningkatan ekspor non-migas keseluruhan sebesar 3,22%.

Jika dilihat dari peranan dan perkembangan ekspor non-migas Indonesia menurut sektor, ekspor produk pertanian, produk industri, dan produk pertambangan masing-masing meningkat 23,51% 12,54%, dan 25,43%.

Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan periode Januari-Juni 2006, kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 65,02% sedangkan kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 3,56%, dan kontribusi ekspor produk pertambangan adalah sebesar 9,25%, sementara kontribusi ekspor migas adalah sebesar 22,18%.

Impor

Nilai impor Indonesia selama bulan Juni 2006 mengalami peningkatan 12,00% dibanding impor bulan Mei 2006 yaitu dari 5.061,1 juta dolar menjadi 5.668,2 juta dolar.

Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan impor migas dan non migas masing-masing sebesar 445,7 juta dolar (26,32%) dan 161,4 juta dolar (4,79%).

Lebih lanjut peningkatan impor migas disebabkan oleh peningkatan impor hasil minyak sebesar 473,6 juta dolar (50,65%) sedangkan impor minyak mentah sedikit menurun sebesar 27,9 juta dolar (3,68%).

Selama semester I tahun 2006 nilai impor meningkat sebesar 1,31% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu dari 28.463,3 juta dolar menjadi 28.836,0 juta dolar. Peningkatan terjadi pada impor migas yaitu sebesar 12,80%, sebaliknya impor non migas menurun sebesar 3,14%.

Secara lebih rinci peningkatan impor migas disebabkan oleh peningkatan minyak mentah (2,76%) dan hasil minyak (22,00%).

Perkembangan nilai impor migas dan non migas selama bulan Juni 2001 sampai dengan Juni 2006 menunjukkan impor non migas selalu lebih tinggi dibanding impor migas. Besaran nilai impor non migas selama periode tersebut setiap bulannya mencapai lebih dari dua kali lipat nilai impor migas.

Dari sepuluh golongan barang utama impor non migas, enam golongan barang mengalami peningkatan pada bulan Juni 2006 dibanding Mei 2006 yaitu kapal laut dan bangunan terapung naik 79,5 juta dolar (56,26%), gandum naik 68,5 juta dolar (96,07%), mesin/peralatan listrik naik 36,5 juta dolar (15,75%), besi dan baja naik 18,5 juta dolar (8,08%), plastik dan barang dari plastik naik 4,3 juta dolar (3,02%) dan kendaraan dan bagiannya naik 1,9 juta dolar (1,30%).

Sementara itu empat golongan barang lainnya mengalami penurunan. Dari empat golongan barang yang mengalami penurunan, dua golongan barang mengalami penurunan di atas 25,0 juta dolar yaitu bahan kimia organik turun 43,6 juta dolar (14,31%) dan mesin dan pesawat mekanik turun 30,5 juta dolar (5,12%).

Dua golongan barang lainnya menurun di bawah 25,0 juta dolar yaitu kapal terbang dan bagiannya turun 7,6 juta dolar (7,79%), dan barang-barang dari besi dan baja turun 6,2 juta dolar (5,68%).

Selama semester I tahun 2006 nilai impor non migas mencapai 19.867,9 juta dolar atau menurun 3,14% dibanding periode sebelumnya, demikian juga impor untuk sepuluh golongan barang utama diatas menurun sebesar 7,66%.

Dilihat dari peranan terhadap total impor non migas selama semester I tahun 2006, mesin dan pesawat mekanik memberikan peranan terbesar yaitu 17,49%, diikuti bahan kimia organik sebesar 8,44%, mesin/peralatan listrik sebesar 6,95%,besi dan baja sebesar 6,49%, kendaraan dan bagiannya sebesar 6,32%.

Sementara itu, impor plastik dan barang dari plastik sebesar 4,28%, kapal terbang dan bagiannya sebesar 3,27%, dan barang-barang dari besi dan baja sebesar 3,13%. Dua golongan barang berikutnya kapal laut dan bangunan terapung dan gandum masing-masing menyumbang sebesar 2,99% dan 2,49%.

Peranan impor sepuluh golongan barang di atas mencapai 61,85% dari total impor non migas dan 42,61% dari total impor keseluruhan.

Dari total nilai impor non migas Juni 2006 sebesar 3.529,1 juta dolar sebanyak 19,15% berasal dari ASEAN, dan 14,78% dari Uni Eropa.

Berdasarkan negara asal utama, impor non migas dari Cina merupakan yang terbesar yaitu sebesar 459,5 juta dolar atau 13,02% dari keseluruhan impor non migas, diikuti Jepang sebesar 376,9 juta dolar (10,68%), Amerika Serikat sebesar 327,7 juta dolar (9,29%), Singapura sebesar 283,4 juta dolar (8,03%), Australia 243,1 juta dolar (6,89%), Thailand 236,8 juta dolar (6,71%), Korsel 144,4 juta dolar (4,09%).

Sedangkan impor non migas dari Jerman 116,2 juta dolar (3,29%), Malaysia 124,2 juta dolar (3,52%), Taiwan 92,7 juta dolar (2,63%), Perancis 84,6 juta dolar (2,40%), Inggris 70,9 juta dolar (2,01%). Secara keseluruhan, keduabelas negara utama di atas memberikan peran sebesar 72,55% dari total impor non migas.

Perkembangan impor menurut golongan penggunaan barang selama semester I tahun 2006 menunjukkan bahwa dari tiga golongan penggunaan barang impor, satu golongan barang mengalami penurunan yaitu impor bahan baku/penolong yang turun 0,18% menjadi 22.215,0 juta dolar. Sementara dua golongan barang lainnya yaitu barang konsumsi dan barang modal masing-masing mencapai 2.423,0 juta dolar dan 4.198,0 juta dolar atau meningkat 12,05% dan 3,75%.

Peranan impor konsumsi dan barang modal dalam struktur impor Indonesia selama semester I tahun 2006 mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu masing-masing dari 7,60% menjadi 8,40% dan dari 14,21% menjadi 14,56%.

Sebaliknya peranan impor bahan baku/penolong mengalami penurunan yaitu dari 78,19% menjadi 77,04%. (*/rit)

Partisipasi Nasional di Industri Migas Bagian (I)

Partisipasi Nasional di Industri Migas Bagian (I)

Peran nasional dalam pengelolaan bisnis minyak dan gas (migas) di Tanah Air hingga kini masih sangat minim, tidak lebih 20 persen dari produksi nasional walaupun sejarah industri migas di Indonesia sudah melampaui satu abad.

Dari total produksi minyak Indonesia yang saat ini mencapai 900 ribu barel per hari, maka 50 persennya harus dikirim ke luar negeri mengingat 85 persen sektor migas dikuasai oleh asing.

Di sisi lain, kebutuhan minyak untuk konsumsi dalam negeri sudah mencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor sekitar 950 ribu barel per hari. Sementara produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir.

Itu semua merupakan indikasi yang sangat jelas telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan migas di Indonesia, tegas Ketua Kaukus Migas Nasional, Effendi Siradjuddin, saat ditemui pada acara seminar "Proyeksi Energi: Quo Vadis Perpanjangan

Kontrak Bagi Produksi" yang diprakarsai Perum LKBN ANTARA, awal pekan ini.

Ia menuturkan jumlah perusahaan migas swasta nasional saat ini hanya sekitar 60 buah. Rata-rata produksinya ada di kisaran 100 sampai 1.000 barel per hari (bph). Yang di atas dua ribu bph hanya beberapa perusahaan saja. Kalau ditotal, maka produksi perusahaan nasional cuma 60 ribu bph atau enam persen dari rata-rata produksi minyak nasional yang hampir mencapai satu juta bph.

Jika dibandingkan dengan negara lain, kondisinya sangat menyedihkan. Di Cina, misalnya, hampir 95 persen kegiatan industri hulu migas didominasi perusahaan dalam negeri. Di Kanada, hampir 80 persen. Bahkan di negeri jiran Malaysia, partisipasi nasional mencapai sekitar 30-40 persen.

Partisipasi ini mengakibatkan kecilnya dana hasil perputaran bisnis hulu migas yang mengendap di dalam negeri. Dari pola belanja barang dan jasa selama ini, Indonesia hanya menikmati 10 persen saja dari rata-rata belanja barang dan jasa perusahaan hulu migas yang mencapai 10 milyar dolar AS per tahun.

Menurut Effendi, pengelolaan migas di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas dinyatakan bahwa kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kegagalan pengelolaan migas diperparah dengan pemberlakuan Undang-Undang (UU) No22/2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). UU ini telah menghilangkan kemauan politik (political will) terkait pentingnya menciptakan kemandirian di bidang migas atau agar migas ditangani bangsa sendiri.

Padahal, ketentuan yang menghindarkan ketergantungan pada asing itu jelas diatur dalam UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960.Mengutip bagian penjelasan Perpu 44/1960, antara lain disebutkan bahwa bahan galian migas bukan saja mempunyai sifat-sifat khusus, tetapi hasil-hasil pemurnian dan pengolahannya adalah penting bagi hajat hidup orang banyak dan pertahanan nasional.

Itu sebabnya dalam Perpu tersebut ditentukan bahwa pengusahaan migas hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaan pengusahaan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara. Dengan begitu diharapkan kemanfaatan bahan galian migas dapat terjamin dalam rangka penyusunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

"Harusnya UU Migas itu segera dicabut dan kembali ke UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960," kata Effendi yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas).

Nasionalisasi

Kalau pun pemerintah enggan mencabut UU Migas, Kaukus mengajukan setidaknya empat usulan agar produksi minyak nasional bisa naik hingga 1,3 juta barel per hari (bph) dalam jangka waktu tiga tahun.

Pertama, sederhanakan prosedur yang memungkinkan operasi di lapangan tanpa menunggu persetujuan tertulis dalam plan of development (PoD) wajib pajak badan (WP/B). Kedua, menerapkan model kontrak baru berbasis pajak dan royalti, bukan dengan kontrak bagi hasil (PSC).

Dengan begitu, BP Migas tidak perlu mencampuri pengelolaan internal perusahaan minyak. Misalnya, pendapatan kontraktor bisa langsung ditetapkan persentasenya dari penghasilan minyak setelah dikurangi pajak.

Ketiga, ketentuan penghitungan DMO (domestic market obligation) dilakukan setelah produksi mencapai 50 persen dari kapasitas produksi komersial. Keempat, blok-blok migas yang kini berada di tangan investor asing perlu dinasionalisasi.

Effendi menjelaskan, nasionalisasi versi Kaukus Migas berbeda dengan yang terjadi di Venezuela dan Bolivia, karena pemerintah langsung mengambil alih kepemilikan blok yang dikelola asing. Kaukus hanya meminta, pemerintah tidak memperpanjang kontrak-kontrak kerja sama dengan asing yang akan berakhir. Seluruh blok yang nantinya ditinggalkan perusahaan asing itu diserahkan kepada pengusaha migas nasional untuk dikelola sendiri.

Data yang ada di Kaukus, setidaknya ada 23 kontrak bagi hasil (production sharing contract) yang akan selesai masa kontraknya hingga 15 tahun ke depan. Di antaranya, Kodeco pada 2011, Chevron East Kalimantan pada 2016, Total Indonesie dan BP NW Java Sea pada 2017, dan Chevron Pacific Indonesia pada 2021.

PT Medco Energi International Tbk merupakan contoh sukses pengalihan tersebut. Setelah mengambil alih Tesoro dan Stanvac, Medco meningkatkan produksi minyak dari 5.000 barel per hari (bph) menjadi 7.000 bph. Hal ini terjadi karena Medco sukses memperbaiki efisiensi dalam pengangkatan minyak ke permukaan.

Karena itu, biar bagaimanapun kondisinya, ladang migas yang kontraknya habis harus diserahkan kepada pihak nasional. Termasuk, jika ternyata blok itu masih potensial sehingga peran investor asing cukup di lapangan-lapangan baru.

Pada saat yang sama, kepentingan Kaukus sejalan dengan target pemerintah dalam menggenjot produksi migas. Hal itu terkait dengan banyaknya "lapangan tidur" dalam wilayah kerja asing yang dibiarkan karena dinilai tidak ekonomis lagi.

Untuk mengeksploitasi barang sisa itu, dibutuhkan teknologi yang lebih kompleks dan lebih berisiko. Perusahaan multinasional semacam ExxonMobil, BP, atau Chevron biasanya tidak begitu tertarik, karena tidak menguntungkan. Padahal, kalau diproduksikan kembali, sumur-sumur itu mampu memproduksi minimal 50-100 ribu bph, tegas Effendi.

Kaukus bahkan memperkirakan banyak lapangan tua yang kandungan migasnya masih mencapai 35 persen dari total produksi blok tersebut di saat normal. Misalkan blok migas Z mempunyai kandungan minyak mencapai satu juta barel, maka ketika ditambang, yang tersedot mungkin hanya sebesar 60-70 persen. Sisanya yang mengendap inilah yang dibidik Kaukus.

"Jika ada nasionalisasi, perolehan perusahaan migas nasional yang saat ini hanya satu milyar dolar bisa dipacu menjadi sembilan milyar dolar AS atau 90 persen dari total belanja perusahaan hulu migas per tahun," katanya. Meski begitu bagi Kaukus, nasionalisasi belum merupakan tujuan akhir. Tujuan akhir dari wacana ini adalah meningkatkan partisipasi nasional dalam industri hulu migas di Indonesia. Artinya, Pertamina bersama-sama dengan swasta nasional, BUMD dan koperasi membentuk konsorsium nasional--Effendi mengistilahkan sebagai Indonesia Incorporated, untuk mengelola sendiri kekayaan migas nasional dan kemudian "go international".

Revisi UU Migas

Menurut pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) Dr.Kurtubi, untuk mewujudkan konsorsium nasional tersebut, UU Migas harus diamandemen terlebih dulu.

Sebelum ada UU Migas, blok migas memang bisa langsung digarap dan diteruskan oleh Pertamina. Sekarang, peran itu dimainkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Padahal BP Migas hanyalah regulator, bukan perusahaan.

"Karena itu, revisi dulu UU migas sekarang," kata Kurtubi. Kemudian diatur bahwa nasionalisasi sebuah blok bisa dilakukan setelah masa kontrak berakhir dan blok diserahkan kepada Pertamina sebagai wakil negara. Setelah itu, baru Pertamina diwajibkan memilih perusahaan nasional lain untuk digandeng, katanya.

Buat pemerintah , tentu tidak akan begitu saja menyetujui wacana nasionalisasi mengingat implikasinya terhadap investasi. Iklim investasi dalam negeri bisa saja akan terganggu jika perusahaan asing hanya diberi hak satu periode eksploitasi tanpa adanya opsi perpanjangan. Lagi pula, blok yang sudah habis masa kontraknya memang otomatis kembali menjadi milik negara.

BP Migas sebagai pemberi kuasa penuh wilayah kerja migas di Tanah Air juga merasa telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN maupun swasta nasional untuk mengelola kekayaan energi fosil di bumi Indonesia.

Wakil Kepala BP Migas Hadi Purnomo bahkan mengakui, pemerintah telah memberikan sejumlah hak istimewa kepada Pertamina agar menjadi perusahaan yang maju. ‘'Pertamina memiliki `privilege` yakni bisa meminta suatu blok migas yang telah habis masa kontraknya," katanya.

Keistimewaan lainnya adalah porsi bagi hasil yang lebih besar yakni 60 persen buat pemerintah dan 40 persen buat Pertamina. Pertamina bisa pula mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu sepanjang 100 persen sahamnya dimiliki BUMN tersebut dan dapat memasarkan minyak dan gas bagian Negara, kata Hadi Purnomo.

Diharapkan keberpihakan terhadap industri migas nasional tersebut bisa terus dilakukan baik melalui pembenahan regulasi maupun pengawasan. Perbaikan iklim investasi juga tidak boleh kendor agar prospek investasi sektor hulu migas di dalam negeri tetap cerah.

Dari data geologis, ada sekitar 60 cekungan hidrokarbon yang tersebar di dalam bumi Indonesia dengan perkiraan kandungan minyak bumi 86,9 milyar barel dan gas sekitar 384 trilyun standar kaki kubik (TSCF).

Hal itu membuktikan secara geologis, sektor migas Indonesia masih menarik bagi investor.

Partisipasi Nasional Di Industri Migas

Partisipasi Nasional Di Industri Migas

(Berita Daerah - Nasional) - Peran nasional dalam pengelolaan bisnis minyak dan gas (migas) di Tanah Air hingga kini masih sangat minim, tidak lebih 20 persen dari produksi nasional walaupun sejarah industri migas di Indonesia sudah melampaui satu abad.

Dari total produksi minyak Indonesia yang saat ini mencapai 900 ribu barel per hari, maka 50 persennya harus dikirim ke luar negeri mengingat 85 persen sektor migas dikuasai oleh asing.

Di sisi lain, kebutuhan minyak untuk konsumsi dalam negeri sudah mencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor sekitar 950 ribu barel per hari. Sementara produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir.

Itu semua merupakan indikasi yang sangat jelas telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan migas di Indonesia, tegas Ketua Kaukus Migas Nasional, Effendi Siradjuddin, pada acara seminar "Proyeksi Energi: Quo Vadis Perpanjangan Kontrak Bagi Produksi" awal pekan ini.

Ia menuturkan jumlah perusahaan migas swasta nasional saat ini hanya sekitar 60 buah. Rata-rata produksinya ada di kisaran 100 sampai 1.000 barel per hari (bph). Yang di atas dua ribu bph hanya beberapa perusahaan saja. Kalau ditotal, maka produksi perusahaan nasional cuma 60 ribu bph atau enam persen dari rata-rata produksi minyak nasional yang hampir mencapai satu juta bph.

Jika dibandingkan dengan negara lain, kondisinya sangat menyedihkan. Di China, misalnya, hampir 95 persen kegiatan industri hulu migas didominasi perusahaan dalam negeri. Di Kanada, hampir 80 persen. Bahkan di negeri jiran Malaysia, partisipasi nasional mencapai sekitar 30-40 persen.

Partisipasi ini mengakibatkan kecilnya dana hasil perputaran bisnis hulu migas yang mengendap di dalam negeri. Dari pola belanja barang dan jasa selama ini, Indonesia hanya menikmati 10 persen saja dari rata-rata belanja barang dan jasa perusahaan hulu migas yang mencapai 10 miliar dolar AS per tahun.

Menurut Effendi, pengelolaan migas di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas dinyatakan bahwa kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kegagalan pengelolaan migas diperparah dengan pemberlakuan Undang-Undang (UU) No22/2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). UU ini telah menghilangkan kemauan politik (political will) terkait pentingnya menciptakan kemandirian di bidang migas atau agar migas ditangani bangsa sendiri.

Padahal, ketentuan yang menghindarkan ketergantungan pada asing itu jelas diatur dalam UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960.Mengutip bagian penjelasan Perpu 44/1960, antara lain disebutkan bahwa bahan galian migas bukan saja mempunyai sifat-sifat khusus, tetapi hasil-hasil pemurnian dan pengolahannya adalah penting bagi hajat hidup orang banyak dan pertahanan nasional.

Itu sebabnya dalam Perpu tersebut ditentukan bahwa pengusahaan migas hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaan pengusahaan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara. Dengan begitu diharapkan kemanfaatan bahan galian migas dapat terjamin dalam rangka penyusunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

"Harusnya UU Migas itu segera dicabut dan kembali ke UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960," kata Effendi yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas).

Nasionalisasi

Kalaupun pemerintah enggan mencabut UU Migas, Kaukus mengajukan setidaknya empat usulan agar produksi minyak nasional bisa naik hingga 1,3 juta barel per hari (bph) dalam jangka waktu tiga tahun.

Pertama, sederhanakan prosedur yang memungkinkan operasi di lapangan tanpa menunggu persetujuan tertulis dalam plan of development (PoD) wajib pajak badan (WP/B). Kedua, menerapkan model kontrak baru berbasis pajak dan royalti, bukan dengan kontrak bagi hasil (PSC).

Dengan begitu, BP Migas tidak perlu mencampuri pengelolaan internal perusahaan minyak. Misalnya, pendapatan kontraktor bisa langsung ditetapkan persentasenya dari penghasilan minyak setelah dikurangi pajak.

Ketiga, ketentuan penghitungan DMO (domestic market obligation) dilakukan setelah produksi mencapai 50 persen dari kapasitas produksi komersial. Keempat, blok-blok migas yang kini berada di tangan investor asing perlu dinasionalisasi.

Effendi menjelaskan, nasionalisasi versi Kaukus Migas berbeda dengan yang terjadi di Venezuela dan Bolivia, karena pemerintah langsung mengambil alih kepemilikan blok yang dikelola asing. Kaukus hanya meminta, pemerintah tidak memperpanjang kontrak-kontrak kerja sama dengan asing yang akan berakhir. Seluruh blok yang nantinya ditinggalkan perusahaan asing itu diserahkan kepada pengusaha migas nasional untuk dikelola sendiri.

Data yang ada di Kaukus, setidaknya ada 23 kontrak bagi hasil (production sharing contract) yang akan selesai masa kontraknya hingga 15 tahun ke depan. Di antaranya, Kodeco pada 2011, Chevron East Kalimantan pada 2016, Total Indonesie dan BP NW Java Sea pada 2017, dan Chevron Pacific Indonesia pada 2021.

PT Medco Energi International Tbk merupakan contoh sukses pengalihan tersebut. Setelah mengambil alih Tesoro dan Stanvac, Medco meningkatkan produksi minyak dari 5.000 barel per hari (bph) menjadi 7.000 bph. Hal ini terjadi karena Medco sukses memperbaiki efisiensi dalam pengangkatan minyak ke permukaan.

Karena itu, biar bagaimanapun kondisinya, ladang migas yang kontraknya habis harus diserahkan kepada pihak nasional. Termasuk, jika ternyata blok itu masih potensial sehingga peran investor asing cukup di lapangan-lapangan baru.

Pada saat yang sama, kepentingan Kaukus sejalan dengan target pemerintah dalam menggenjot produksi migas. Hal itu terkait dengan banyaknya "lapangan tidur" dalam wilayah kerja asing yang dibiarkan karena dinilai tidak ekonomis lagi.

Untuk mengeksploitasi barang sisa itu, dibutuhkan teknologi yang lebih kompleks dan lebih berisiko. Perusahaan multinasional semacam ExxonMobil, BP, atau Chevron biasanya tidak begitu tertarik, karena tidak menguntungkan. Padahal, kalau diproduksikan kembali, sumur-sumur itu mampu memproduksi minimal 50-100 ribu bph, tegas Effendi.

Kaukus bahkan memperkirakan banyak lapangan tua yang kandungan migasnya masih mencapai 35 persen dari total produksi blok tersebut di saat normal. Misalkan blok migas Z mempunyai kandungan minyak mencapai satu juta barel, maka ketika ditambang, yang tersedot mungkin hanya sebesar 60-70 persen. Sisanya yang mengendap inilah yang dibidik Kaukus.

"Jika ada nasionalisasi, perolehan perusahaan migas nasional yang saat ini hanya satu miliar dolar bisa dipacu menjadi sembilan miliar dolar AS atau 90 persen dari total belanja perusahaan hulu migas per tahun," katanya.

Meski begitu bagi Kaukus, nasionalisasi belum merupakan tujuan akhir. Tujuan akhir dari wacana ini adalah meningkatkan partisipasi nasional dalam industri hulu migas di Indonesia. Artinya, Pertamina bersama-sama dengan swasta nasional, BUMD dan koperasi membentuk konsorsium nasional--Effendi mengistilahkan sebagai Indonesia Incorporated, untuk mengelola sendiri kekayaan migas nasional dan kemudian "go international".

Revisi UU Migas

Menurut pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) Dr.Kurtubi, untuk mewujudkan konsorsium nasional tersebut, UU Migas harus diamandemen terlebih dulu.

Sebelum ada UU Migas, blok migas memang bisa langsung digarap dan diteruskan oleh Pertamina. Sekarang, peran itu dimainkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Padahal BP Migas hanyalah regulator, bukan perusahaan.

"Karena itu, revisi dulu UU migas sekarang," kata Kurtubi. Kemudian diatur bahwa nasionalisasi sebuah blok bisa dilakukan setelah masa kontrak berakhir dan blok diserahkan kepada Pertamina sebagai wakil negara. Setelah itu, baru Pertamina diwajibkan memilih perusahaan nasional lain untuk digandeng, katanya.

Buat pemerintah , tentu tidak akan begitu saja menyetujui wacana nasionalisasi mengingat implikasinya terhadap investasi. Iklim investasi dalam negeri bisa saja akan terganggu jika perusahaan asing hanya diberi hak satu periode eksploitasi tanpa adanya opsi perpanjangan. Lagi pula, blok yang sudah habis masa kontraknya memang otomatis kembali menjadi milik negara.

BP Migas sebagai pemberi kuasa penuh wilayah kerja migas di Tanah Air juga merasa telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN maupun swasta nasional untuk mengelola kekayaan energi fosil di bumi Indonesia.

Wakil Kepala BP Migas Hadi Purnomo bahkan mengakui, pemerintah telah memberikan sejumlah hak istimewa kepada Pertamina agar menjadi perusahaan yang maju.

"Pertamina memiliki `privilege` yakni bisa meminta suatu blok migas yang telah habis masa kontraknya," katanya.

Keistimewaan lainnya adalah porsi bagi hasil yang lebih besar yakni 60 persen buat pemerintah dan 40 persen buat Pertamina. Pertamina bisa pula mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu sepanjang 100 persen sahamnya dimiliki BUMN tersebut dan dapat memasarkan minyak dan gas bagian Negara, kata Hadi Purnomo.

Diharapkan keberpihakan terhadap industri migas nasional tersebut bisa terus dilakukan baik melalui pembenahan regulasi maupun pengawasan. Perbaikan iklim investasi juga tidak boleh kendor agar prospek investasi sektor hulu migas di dalam negeri tetap cerah.

Dari data geologis, ada sekitar 60 cekungan hidrokarbon yang tersebar di dalam bumi Indonesia dengan perkiraan kandungan minyak bumi 86,9 miliar barel dan gas sekitar 384 triliun standar kaki kubik (TSCF).

Hal itu membuktikan secara geologis, sektor migas Indonesia masih menarik bagi investor.

geothermal

Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan PT Pertamina (Persero), berdiri sejak tahun 2006 telah diamanatkan oleh pemerintah untuk mengembangkan 15 Wilayah Kerja Pengusahaan Geothermal di Indonesia. Perusahaan yang menyediakan energy tanpa polusi ini, 90% sahamnya dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) dan 10% dimilii oleh PT Pertamina Dana Ventura.

Era baru bagi energi geothermal diawali dengan peresmian Lapangan Geothermal kamojang pada tanggal 29 Januari 1983 dan diikuti dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Unit-1 (30MW) pada tanggal 7 Pebruari 1983, dan lima tahun kemudian 2 unit beroperasi dengan kapasitas masing-masing 55 MW. Di pulau Sumatera untuk pertama kali beroperasi Monoblok 2 MW di daerah Sibayak-Brastagi sebagai Power Plant pertama dan pada Agustus 2001 PLTP pertama 20 MW beroperasi di daerah Lahendong.

Seiring dengan perjalanan waktu Pemerintah melalui Keppres No. 76/2000 mencabut Keppres terdahulu dan memberlakukan UU No. 27/2003 tentang geothermal, dimana PT Pertamina tidak lagi memiliki hak monopoli dalam pengusahaan energi geothermal tetapi sam dengan pelaku bisnis geothermal lainnya di Indonesia.

Dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut Pertamina telah mengembalikan 16 Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) Geothermal kepada Pemerintah dari 31 WKP yang diberikan untuk dikelola.

Pada tanggal 23 Nopember 2001 pemerintah memberlakukan UU MIGAS No. 22/2001 tentang pengelolaan industri migas di Indonesia. UU ini memjbawa perubahan yang sangat besar bagi sektor migas, termasuk Pertamina. Pasca berlakunya UU tersebut Pertamina memilik kedudukan yang sama dengan pelaku bisnis migas lainnya. Pada tanggal 17 September 2003 PERTAMINA berubah bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) dan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2003 diamanatkan untuk mengalihkan usaha geothermal yang selama ini dikelola oleh PT Pertamina ntuk dialihkan kepada Anak Perusahaan paling lambat dua tahun setelah perseroan terbentuk. Untuk itu PT Pertamina membentuk PT Pertamina Geothermal Energy (PT PGE) sebagai anak perusahaan yang akan mengelola kegiatan usaha dibidang geothermal.

PT Pertamina memiliki hak pengelolaan atas 15 Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) geothermal dengan total potensi 8.480 MW setara dengan 4.392 MMBOE. Dari 15 WKP tersebut, 10 WKP dikelola sendiri oleh PT PGE,yaitu (1) kamojang: 200 MW, (2) Lahendong: 60 MW, (3) Sibayak: 12 MW, (4) Ulubelu, (5) Lumutbalai, (6) Hululais, (7) Kotamubagu, (8) Sungai Penuh dan (9) Iyang Argopuro dan (10) Karahabodas. Tiga area diantaranya telah berproduksi dengan total kapasitas 272 MW setara dengan 12.900 BOEPD. Sisanya yang dikelola bersama mitra berproduksi dengan total 922 MW.

Pertamina Geothermal dalam pengusahaanya selalu fokus kepada kegiatan untuk meningkatkan produksi di tiga daerah operasi(Kamojang, Lahendong dan Sibayak). Total produksi yang dihasilkan dari 3 daerah operasi eksisting sebesar 9,5 juta ton uap dengan pembangkitan 1,3 juta MWh. Selain itu kontribusi dari KOB sebesar 30,37 juta ton uap dan 4,1 juta MWh. Total produksi uap geothermal pertahun sebesar 39,89 juta ton dengan pembangkitan listrik mencapai 5,36 juta MWh.

PT PGE merupakan perusahaan yang berorientasi kepada Kegiatan Operasi Terintegrasi, dimana seluruh kegiatan operasi dilakukan Total Project dimana seluruh operasi dilakukan dari hulu sampai hilir, seperti PLTP Kamojang Unit 4 telah menjadi buah sukses kerja keras kami.

Kamojang Success Story :

AG KAMOJANG

  • 1926 – 1928 : Pemboran 5 sumur oleh Pemerintah Belanda.
  • 1971 – 1979 : Pemboran 14 Sumur Eksplorasi (Kerjasama Dengan Pemerintah Selandia Baru).
  • 1978 : Peresmian Monoblok 0,25 MW oleh Mentamben (Prof. DR. Subroto).
  • 1979 – 2003 : Bor Sumur Pengembangan dan produksi.
  • 1983 : Peresmian PLTP Unit I (30 MW) oleh Presiden RI Soeharto.
  • 1988 : Peresmian PLTP Unit II & III (2 x 55 MW).
  • 1997 : Penundaan Proyek Pengembangan Kamojang (Keppres No. 39/1997).
  • 2003 - 2007 : Pengembangan PLTP Unit IV (60 MWe).

Nilai tambah proyek

  1. Efisiensi Biaya pembangunan Total Project sebesar 9%.
  2. Kapasitas listrik yang terpasang lebih besar.
    • 63 MW Kapasitas Terpasang (netto > 60 MW).
  3. Efisiensi Konsumsi Uap (Specific Steam Consumption-SSC).
    • Realisasi 6,703 ton/jam/MW dari Rencana 7,47 ton/jam/MW.
  4. Dominasi Tenaga Kerja Nasional.
    • hanya 11 Expatriate dari 2430 pekerja (sisanya adalah Tenaga Kerja Nasional).
  5. Optimasi tata letak untuk pengembangan Unit PLTP berikutnya.
  6. Berhasil merekomendasikan Penggunaan Pelumas Pertamina sebagai pelumas resmi Turbin PLTP Kamojang Unit-4.

pusdiklat migas

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi (Pusdiklat Migas) adalah Instansi Pemerintah Pusat di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 0030 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi mempunyai tugas melaksanakan Pendidikan dan Pelatihan bidang Minyak dan Gas Bumi.

Visi Pusdiklat Migas


Menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi yang unggul dengan mewujudkan tata kepemerintahan yang bersih, baik, transparan dan terbuka

Misi Pusdiklat Migas


  1. Meningkatkan kapasitas aparatur negara dan Pusdiklat Migas untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik
  2. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja sub sektor migas untuk berkompetisi melalui mekanisme ekonomi pasar
  3. Meningkatkan kemampuan perusahaan minyak dan gas bumi menjadi lebih kompetitif melalui pengembangan Sumber Daya Manusia.



  1. Fungsi Pusdiklat Migas



    Dalam melaksanakan tugas, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi menyelenggarakan fungsi :

    • Perumusan dan Pelaksanaan rencana dan program serta kerjasama Pendidikan dan Pelatihan.
    • Perumusan dan Pelaksanaan standar, pedoman, norma, prosedur, kriteria Pendidikan dan Pelatihan.
    • Penyiapan akreditasi program lembaga Pendidikan dan Pelatihan lainnya, serta penyelenggaraan uji kompetensi tenaga khusus dan teknis keperluan lembaga sertifikasi profesi.
    • Pemberian pelayanan jasa, sarana dan prasarana Pendidikan dan Pelatihan
    • Pengelolaan sistem informasi Pendidikan dan Pelatihan
    • Pembinaan kelompok jabatan fungsional Pusat
    • Pengelolaan ketatausahaan, administrasi keuangan dan kepegawaian serta rumah tangga Pusat
    • Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan bidang Minyak dan Gas Bumi

  2. Sejarah Pusdiklat Migas


    • Bermula dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) 1886 - 1942
    • Jepang 1942 - 1945
    • Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN) 1948
    • PN Permigan 1961
    • Pusdik Migas berdiri pada 4 Januari 1966, dibawah Lemigas Jakarta.
    • PPT MIGAS 1984 dibawah Dirjen Migas DPE
    • Pusdiklat Migas 2001dibawah Badiklat DESDM
    • PTK AKAMIGAS menjadi STEM satker sendiri dibawah Badiklat tahun 2007


  3. Struktur Organisasi


    Struktur Organisasi DESDM


    Struktur Organisasi Pusdiklat Migas


  4. Lingkup Pengembangan SDM Pusdiklat


    Pusdiklat Migas


  5. Unit Kerja Pusdiklat Migas yang telah Terakreditasi


    • Lembaga Sertifikasi Personil / Proffesi (LSP) PPT Migas ISO 17024:2003
    • Lembaga Inspeksi Migas ISO 17020.
    • Lembaga Kediklatan Migas ISO 9001.
    • Lembaga Pengelasan ISO 9606
    • Laboratorium Penguji ( Kimia, Minyak Bumi, Lingkungan dan Produksi ) ISO 17025.
    • Laboratorium Kalibrasi (Tekanan, Suhu, Massa dan Volume) ISO 17025.
    • Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001


  6. Pelatihan


    Pusdiklat Migas


    Pusdiklat Migas





Harga Minyak dan Kebijakan Sektor Hulu Migas

Harga Minyak dan Kebijakan Sektor Hulu Migas

Oleh: Edy Hafidl



Harga minyak mentah dunia kembali mencatat rekor baru, yakni mencapai US$ 103,05 per barel pada perdagangan komoditas akhir pekan, sebuah pencapaian harga yang tak pernah terjadi dalam sejarah perdagangan minyak dunia. Dampak negatif lonjakan harga minyak yang terjadi sejak paruh kedua 2007 telah tampak di depan mata, bahkan telah dialami oleh sebagian besar anak negeri. Dulu, jika harga minyak dunia naik, negara akan mendapat "rezeki nomplok", yakni apa yang dinamakan dengan windfall profit. Namun, kini, alih-alih mendapat rezeki nomplok, lifting (asumsi tingkat produksi) minyak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 justru diturunkan. Sementara itu, ironisnya, pajak barang impor untuk kegiatan minyak dan gas bumi (migas) justru diturunkan hingga nol persen.

Apa yang salah dalam kebijakan pengelolaan migas di negeri ini? Harga minyak dunia naik, mengapa windfall profit tak bisa diraih oleh negara kita? Disadari atau tidak, secara ekonomi-politik, sebenarnya kebijakan tentang pengelolaan migas suatu negara adalah cermin dari karakter kepemimpinan sebuah negara. Sejarah membuktikan bahwa karakter kepemimpinan kepala negara akan memiliki implikasi langsung ataupun tidak langsung terhadap implementasi kebijakan di sektor migas. Tengoklah kepemimpinan Fidel Castro yang non-kompromistik--untuk tidak dikatakan otoriter--menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas asing. Namun, selayaknya, terlepas dari apa pun karakter kepemimpinan negara, kebijakan tak lain haruslah ditujukan bagi kepentingan negara: untuk pencapaian kemakmuran rakyatnya.

Entahlah mazhab ekonomi energi mana yang dianut negeri ini. Sejumlah hal yang terjadi di negeri ini berkaitan dengan kebijakan di sektor migas sejak paruh kedua 2007 hingga hari ini sangatlah menggelikan, plinplan, dan tidak jelas. Biarlah masyarakat yang akan menilai apakah ada kaitan kebijakan di sektor energi migas ini dengan karakter pemimpin negeri ini.

Simaklah secara kronologis, apa yang terjadi sejak 16 Agustus 2007. Ketika itu, pada pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008, Presiden mengumumkan asumsi harga minyak di APBN 2008 sebesar US$ 60 per barel, dengan lifting minyak dalam RAPBN 2008 sebanyak 1,034 juta barel per hari (bph). Untuk diketahui khalayak bahwa urgensi penghitungan asumsi harga minyak dunia dan lifting minyak di APBN adalah untuk mengetahui seberapa besar pendapatan negara dari sektor migas. Jadi rumus untuk asumsi pendapatan negara dari migas di APBN adalah asumsi harga minyak dunia dikalikan asumsi lifting minyak dikalikan hari produksi di tahun takwim, didapatkankanlah pendapatan negara dari sektor migas.

Namun, melihat kecenderungan harga minyak dunia yang merangkak naik, ditambah lagi dengan pesimisme tentang kemampuan pemerintah/Pertamina dan kontraktor production sharing (KPS) migas atau kontraktor bagi hasil (KBH) dalam pencapaian peningkatan produksi, tepat sebulan setelah itu, yakni 17 September, setelah melakukan rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral merevisi lifting minyak 2008 menjadi hanya maksimal 1 juta bph.

Khalayak terpaksa harus menerima penjelasan tentang alasan "penyesuaian" lifting itu dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yakni pertama, produksi minyak terbesar baru bisa dicapai pada semester kedua 2008. Beberapa lapangan minyak yang akan memproduksi minyak skala besar pada paruh kedua 2008 antara lain Cepu (dikelola oleh Mobil Cepu Ltd.) dan Duri (dikelola oleh Chevron Texaco Indonesia d/h Caltex Pacific Indonesia). Lalu alasan kedua, pemerintah sedang mengkaji untuk menerapkan pola produksi minyak berkelanjutan, yakni produksi dipatok pada angka bph tertentu, sehingga cadangan minyak tidak akan cepat habis.

Pola produksi minyak berkelanjutan ini pada prinsipnya menerapkan keseimbangan antara cadangan minyak dan produksinya. Namun, penulis mengingatkan bahwa secara tipikal, sumur minyak di Indonesia berbeda dengan di Arab Saudi, yakni sebuah sumur memiliki cadangan yang sangat besar. Sumur minyak di Indonesia, yang umumnya sumur-sumur kecil, tentu tidak akan efisien jika tidak "digenjot" produksinya sejak produksi dimulai. Muncul pertanyaan kemudian, layakkah jika pola produksi minyak berkelanjutan ini diimplementasikan di Indonesia?

Ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah kembali terjadi pada 15 Februari 2008. Pemerintah kembali mengumumkan bahwa asumsi harga minyak "disesuaikan" lagi menjadi US$ 83 per barel dan lifting minyak kembali direvisi menjadi hanya 910 ribu bph. Khalayak yang awam akan perhitungan pendapatan dan belanja negara saja bisa menyimpulkan bahwa kebijakan di sektor migas di negeri ini sangatlah rapuh (volatile), plinplan, dan cenderung bersifat trial and error.

Kebijakan revisi terakhir ini menjadi semakin lucu dan tidak nyambung dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada pertengahan Januari 2008. Ketika itu pemerintah memberikan insentif bagi pengusaha di sektor migas berupa penurunan pajak impor hingga nol persen, alias pembebasan pajak bagi barang-barang impor yang diperuntukkan bagi industri migas. Insentif fiskal ini, apalah tujuannya, kalau bukan memacu Pertamina dan para KPS/KBH "menggenjot" produksi untuk mencapai target lifting minyak hingga 1 juta bph sebagaimana dipatok pemerintah semula.

Tapi biarlah, toh, kebijakan pemerintah, yang orang Jawa bilang esuk dele, sore tempe, itu telah terjadi. Hari-hari ini harga minyak telah mulai merangkak jauh di atas angka psikologis US$ 100 per barel. Analis bursa komoditas internasional bahkan memprediksi bahwa tingginya harga minyak ini bakal berlangsung lama. Berbicara tentang dampak, jangankan bagi industri besar, lha wong industri tempe saja, yang notabene kedelainya sebagai bahan baku, ternyata memiliki komponen impor, karena produksi kedelai dalam negeri tak mencukupi, pun terkena dampak. Dapat dibayangkan betapa parahnya negeri ini, mengingat komoditas remeh semacam tempe pun tidak terlepas penghitungannya dari denominasi dolar.

Lalu, di masa mendatang, apa yang harus dilakukan? Jawabnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Namun, izinkan penulis hanya mempersempit dalam kebijakan di sektor hulu pengelolaan migas. Beberapa hal yang layak dilakukan dalam kebijakan sektor hulu migas, pertama, memacu produksi migas nasional. Sejumlah kendala (barrier) dalam hal produksi sedapat mungkin dieliminasi. Pemerintah selayaknya memfasilitasi pengusaha migas, yang saat ini mencoba memanfaatkan kesempatan, "aji mumpung", dengan harga minyak tinggi, untuk menghidupkan kembali sumur-sumur minyak marginal (bercadangan dan berproduksi kecil) ataupun sumur-sumur yang mulai kering (depleted well).

Insentif fiskal berupa pembebasan pajak impor bolehlah dilakukan. Dalam hal ini, masih ada waktu untuk kembali merevisi lifting dalam APBN 2008 pada angka di atas 1 juta bph. Sebab, angka lifting 910 ribu bph, toh, telah dapat dicapai pada 2007. Pemain migas sebagian besar sangatlah yakin bahwa lifting minyak kita masih mampu digenjot di atas 1 juta bph. Dengan dipatoknya lifting minyak pada angka tinggi, pemain migas hulu akan termotivasi. Lalu, karena masih ada selisih antara produksi dan subsidi pemerintah yang wajib diberikan kepada rakyat, diharapkan windfall profit masih akan tetap diraih secara signifikan. Tentunya, pada saat yang sama, kampanye tentang penghematan energi masihlah harus terus dilakukan.

Kedua, percepat konversi energi dari minyak tanah ke gas bumi, dengan memperkuat sosialisasi pada tataran masyarakat lapisan bawah (grass root) yang umumnya dilingkupi ketidakmengertian akan program konversi energi yang dilakukan pemerintah karena kurangnya sosialisasi. Angka target konversi energi yang juga telah direvisi dari 2 juta kiloliter menjadi 1 juta kiloliter dapat dikembalikan ke target semula, dengan syarat bahwa pemerintah dan Pertamina sudi bekerja keras melakukan sosialisasi.

Ketiga, walaupun ini berat untuk diimplementasikan, ajak perusahaan migas swasta turut berbagi. Dalam hal ini, pemerintah berhak memungut pajak bagi KPS atau KBH atas windfall profit yang diterimanya. Usul kebijakan di atas hanya dapat dilaksanakan dengan niat kuat pemerintah dan dengan kerja keras serta visi yang kuat untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Jika pemerintah terus mengikuti alur emosi yang selalu bimbang, tidak konsisten dalam kebijakan, tentu kita tidak akan dapat menikmati berkah melambungnya harga minyak dunia ini.