Surabaya, Senin- Kepala BP Migas Kardaya menyatakan sesuai dengan peraturan kontrak bagi hasil dalam kasus semburan lumpur panas di Siring Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang bertanggungjawab adalah kontraktornya.
"Dalam hal ini, kontraktor dimaksud ada tiga yang memegang partisipating interes (PI), yaitu Lapindo, Medco dan Santos," ucap Kardaya dalam dialog dengan jurnalis di salah satu hotel berbintang lima di Surabaya, Senin (7/8) malam.
Dalam dialog yang diikuti juga oleh para kepala divisi BP Migas dan para kontraktor migas pemegang kontrak eksplorasi dan eksploitasi di Jatim ini, ia menuturkan bahwa dirinya bukan berarti "cuci tangan" terhadap kasus semburan lumpur di sumur Banjarpanji-1 itu. Tetapi menempatkan masalahnya susuai dengan proporsinya.
Pemegang PI di Blok Brantas meliputi Lapindo Brantas Inc 50 persen, Medco 38 persen dan sisanya 12 persen Santos.
"Mereka bertiga inilah yang bertanggungjawab," ucapnya menegaskan.
Saat ditanya biaya hingga pemulihan (cost recovery)) yang harus ditanggung ketiga kontraktor itu atas peristiwa di Porong, dikabarkan Rp33 triliun yang diduga bisa mengakibatkan Lapindo bangkrut, Kardaya menuturkan bahwa itu merupakan urusan intern ketiga kontraktor pemegang PI.
Tentang wacana pemutusan kontrak akibat bencana lumpur panas ini, ia menjelaskan bahwa yang bisa membatalkan kontrak bila kontraktor tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah disepakati, misalnya, tiga sampai lima tahun tidak melakukan eksplorasi maupun eksploitasi.
"Diluar itu --termasuk kejadian semburan lumpur-- belum ditentukan dalam kontrak bagi hasil," tuturnya.
Mengenai tidak ada sosialisasi kepada warga tekait pengeboran gas di Blok Brantas, utamanya sekitar Siring, sehingga membuat warga panik dan tidak banyak tahu tentang "dunia" pengeboran, Kardaya mengemukakan bahwa Lapindo sudah melaporkan kepada pihaknya tentang sosialisasi yang telah dilakukan sebelum eksplorasi dilaksanakan.
"Mungkin saat sosialisasi tidak tepat sasaran, atau ada faktor lain sehingga kurang berhasil," dalihnya.
Saat ditanya siapa yang salah, ia menuturkan bahwa sesuai peraturan yang menentukan salah-tidaknya adalah proses hukum, dalam hal ini dilakukan penyidik PNS maupun polisi hingga proses pengadilan diputuskan hakim.
"Dalam kasus semburan lumpur di Porong, merupakan satu-satunya kejadian yang semua pihak ikut menanggani secara terpadu. Tidak hanya menjadi tanggunjawab kontraktor semata," katanya.
Sementara itu, Rudi Rubiandini RS, ahli pengeboran dari ITB Bandung yang juga Ketua Tim investigasi independen dari Kementerian ESDM, mengemukakan bahwa dalam sejarah pengeboran (migas) tidak ada individu atau personal yang disalahkan dalam peristiwa "blowout". "Bagaimanapun yang bisa disalahkan adalah corporate atau perusahaan," ucapnya.
Ia memaparkan bahwa dalam sejarah kasus "blowout" pengeboran di Indonesia ada 17 peristiwa besar, yang semuanya bisa diatasi --dihentikan--. Setelah itu, sumur bermasalah tersebut bisa kembali produksi sesuai rencana.
"Karena itu, masyarakat tidak perlu panik berlebihan, Bantu doa saja, Insya Allah semburan itu bisa dihentikan," ucap Rudi.
0 komentar:
Posting Komentar