Sejarah Sistem PSC dalam Pengelolaan Migas
PSC, atau Production Sharing Contract, adalah mekanisme kerjasama pengelolaan migas antara Pemerintah dan kontraktor. Sistem ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo pertama kali pada tahun 1960, namun baru benar-benar diterapkan pada tahun 1964. Konon, model PSC ini telah ditiru lebih dari 40 negara di dunia, yang tersebar di benua Afrika Utara, Asia, Timur Tangah, Amerika Utara dan Amerika Selatan.
Prinsip-prinsip umum PSC adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya (cost recovery); resiko ditanggung oleh kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara; kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka.
Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara.
Dapat dipahami, mengapa pada masa itu kita sangat tergantung pada kontraktor asing. Pertama, karena kita masih miskin. Orde Lama terlalu sibuk dengan pertarungan ideologi-politik, dan begitu abai terhadap perekonomian bangsa. Akibatnya, kita tidak punya modal untuk mengembangkan industri yang high cost macam ini. Ke dua, minimnya penguasaan teknologi. Pasti. Ke tiga, SDM kita masih memble. Maklum, baru beberapa tahun berlalu dijajah Londo. Namun sayangnya, setengah abad sudah berlalu, ketergantungan itu masih sangat tinggi.
Hingga tahun 2009 ini, sistem PSC telah mengalami sedikitnya 3 kali perubahan term and condition. Berikut rinciannya. PSC generasi pertama (1965 – 1975): biaya-biaya yang harus diganti oleh Pemerintah (cost recovery) dibatasi hanya 40% dari pendapatan total; investment credit, atau hak kontraktor untuk mendapatkan pinjaman modal investasi, sebesar 10%; kewajiban menyerahkan 25% bagian migasnya untuk dalam negeri (DMO – domestic market obligation), dengan harga 0,2 sen dollar AS per barrel.
PSC generasi ke dua (1976 – 1988): cost recovery tidak dibatasi; investment credit sebesar 25%; DMO tetap 25%, namun pada 5 tahun pertama dibayar sesuai harga yang berlaku, selanjutnya baru dihargai oleh Pemerintah sebesar 0,2 sen dollar AS per barrel.
PSC generasi ke tiga (1988 – sekarang): ada tambahan term, yakni FTP (First Tranche Petroleum), atau bagian pendapatan yang harus disisihkan dulu, sebelum dikurangi biaya-biaya (cost recovery). FTP ditetapkan sebesar 15 – 20%. Angka ini sekaligus juga menjadi batasan maksimum cost recovery yang bisa dibayar oleh Pemerintah, yakni 80 -85% dari pendapatan total. Sementara investment credit ditetapkan sebesar 17-20%, serta DMO sebesar 25%, dengan ketentuan harga full price pada 5 tahun pertama. Selanjutnya, minyak yang wajib disetorkan ke negara itu dibayar 10% dari harga normal.
Sampai UU Migas No 22 Tahun 2001 terbit, sistem PSC masih dianggap yang terbaik, dibandingkan sistem-sistem pendahulunya, yakni sistem konsesi (1899 – 1960) dan kontrak karya (1960 – 1964). UU ini hanya merubah pelaku yang mewakili negara dalam mengadakan perjanjian dengan kontraktor. Sebelum UU liberal itu lahir, negara menunjuk Pertamina sebagai kepanjangan tangan. Setelah itu, Pemerintah melucuti kekuasaan Pertamina, dan membentuk BPMIGAS sebagai gantinya. Aneh juga sih, badan hukum negara yang sifatnya non-profit, membuat suatu perjanjian bisnis. Duh, piye iki.
0 komentar:
Posting Komentar